Maafkan aku...
Maafkan aku…
Pagi ini aku sedang asyik menjaga toko baju milik ibu
sambil, seperti biasa, membaca novel sastra. Tanpa aba-aba, nada dering Sponge
Bob mencuat dari hapeku, pertanda ada pesan masuk. Aku gapai hapeku dan aku
buka pesan masuknya. Ternyata dari Diki, teman baikku yang sama sekali belum
pernah ku temui, kecuali di dunia maya. Ia seorang mahasiswa kedokteran di
Universitas Jember, satu angkatan denganku.
Assalamualaikum… Reqgi, kamu sudah tau?
Waalaikumsalam… Tau soal apa? Balasku segera.
Aku menutup novel sastra yang ada digenggamanku. Aku
letakkan hape menunggu berdering kembali pertanda balasan dari Diki sudah
masuk, tapi puluhan menit tak kunjung ada balasan itu. Aku berdiam
menerka-nerka kabar apa yang aka dibawa oleh kawanku itu. Mungkin soal Rozaq.
Ya, pasti soal Rozaq, batinku. Tapi apa yang perlu aku tau tentang Rozaq?
Hubungan kami sudah berakhir hampir setahun yang lalu dan Rozaq pun sudah
menemukan penggantiku. Hmm, kalau Diki hanya mengabarkan tentang peresmian
jalinan kasih antara Rozaq dan pacar barunya, aku rasa dia sia-sia saja karena
aku sudah tau sejak lama. Ya, sejak lama. Aku menerawang jauh mengingat detik
dimana aku mengetahui bahwa Rozaq dengan begitu lekasnya menemukan gadis baru.
***
Sore itu, selepas aku menyelesaikan berbagai aktivitasku di
kampus dan beberapa urusan organisasi, aku bersemedi dalam kamar kos yang sudah
aku anggap seperti istana ini. Aku pandangi hapeku, sepi rasanya. Beberapa
bulan yang lalu hape ini masih aktif berdering, entah itu SMS atau telepon dari
Rozaq. Ya, tak bisa ku bohongi diriku, aku masih merindukannya. Itulah mengapa
aku mencoba merangkai kata untuk meneleponnya dan membujuknya untuk bisa
memasukkan kembali diriku dalam hari-harinya. Mungkin aku bisa mengatakan : Aku
minta maaf atas kejadian tujuh bulan yang lalu, aku berjanji tidak akan
mengulangi lagi kata2 “putus” yang terasa begitu menghujam, beri aku kesempatan
kedua bahwa aku layak mendampingimu.
Ya, aku akan berkata demikian. Namun, sebelum aku sempat
memencet tanda “Ok” untuk menelpon Rozaq, aku terperanga membaca salah satu
tweet dari Bunga dan Arini, kawan2 Rozaq. Padahal nama Rozaq sudah terpampang
di hapeku, tinggal klik “Ok’ saja, aku sudah akan meluncurkan ayat-ayat yang
telah ku rangkai itu.
Isi tweetnya adalah : Cie, @spyrozaq sudah menemukan tambatan
hatinya, tag @shintaamelia
Aku buka2 kembali tweet yang lalu, ternyata dugaanku selama
ini benar. Gadis ini toh yang telah merebut hati Rozaq, desahku dalam hati.
Hatiku terasa tercabik-cabik. Aku lesu, bahkan tangan yang tadi kuat memegang
hape, sontak jatuh ke lantai. Aku hampir tak bisa menguasai diri, merengkuh
hape pun aku tak sanggup. Terlihat berlebihan memang, tapi itu fakta. Aku
menyesal atas keputusanku tujuh bulan lalu.
Aku tahu, gadis ini berasal dari Pare, Kediri, sama seperti
tempat tinggal Kakekku dulu. Itulah mengapa aku sedikit dongkol saat mobil Ayah
melewati jalanan Kediri untuk silaturahim ke keluarga Kakek lebaran kemarin.
Suasana Kediri, orang-orang penjual Tahu Kediri, Kampung Inggris, semua terlihat
biasa saja, bahkan membuat mood-ku semakin turun drastic. Aku kecewa kekasihku
direbut oleh gadis ini. Ups, bukan direbut! Aku sendiri yang melepaskan Rozaq,
gadis ini hanya mengambil alih. Ya, aku kalah dengan gadis cantik ini. Aku
menyerah.
Aku menanyakan perihal ini pada Rozaq dan dia hanya menjawab
dua huruf. Y dan A. “Ya”jawabnya.
Well, dalam hidup, sudah dua kali aku dikalahkan oleh
perempuan cantik. Pertama saat SMA dulu, ketika ada seorang adik kelas cantik
yang mengobrak-abrik kedekatanku dengan, ah, tak perlu lah ku sebutkan namanya.
Kedua, saat ini, detik ini.
***
Dering Sponge Bob kembali
berbunyi. Balasan SMS dari Diki.
Mengenai Ayahnya Rozaq.
Aku cuma tau Ayahnya sakit keras.
Apa Ayahnya meninggal? Tanyaku
Lagi2, Diki lama sekali membalas
SMS. Aku kembali menerawang jauh melupakan novel sastra yang ku targetkan akan
selesai hari ini. Aku mengingat2 kejadian beberapa hari lalu saat aku mudik
sambil hunting mahasiswa yang bersedia memberikan testimony untuk rubrik “Kata
Mereka” di Majalah Spektrum BPN ISMKI. Ini rubrik tambahan dari LPM Pcyco atas
wewenangku sebagai pemimpin Redaksi pemegang tender pembuatan Majalah Nasional.
Aku sudah mendapatkan 4 mahasiswa kedokteran dari UGM, UNS, UNAND, dan UMM.
Tinggal 2 lagi, aku ingin Unej dan Unud. Aku meminta tolong Rozaq untuk
memberikan testimoninya.
***
Assalamualaikum… Zaq, aku boleh
minta bantuan?
Bantuan apa, Reqg?
Kamu pernah dengar Majalah
Spektrum BPN ISMKI?
Apa itu? Jawabnya dingin. Ya,
Rozaq memang selalu dingin sekalipun saat aku masih bersamanya, terlebih lagi
sekarang saat aku tak ada lagi di hatinya.
Itu majalah triwulan, Zaq… Aku
minta kamu beri testimony sesuai tema majalah edisi ini… bisa?
Maaf, aku gak bisa bantu… Lagi2
jawabannya dingin.
Oke, gpp. Pasti kamu sibuk ya?
Atau sedang sakit? Aku tahu Rozaq orang yang baik. Meski dingin, ia tak pernah
menolak jika ada yang meminta bantuan bila ia mampu menunaikannya.
Ya, semacam itu lah…
Kamu sakit apa, zaq? Kalau kamu
sakit, aku jenguk kamu sekarang juga. Kebetulan aku sedang di Babat.
Dimana emangnya?
Di jalur pantura-nya. Aku lagi
mudik. Emang kamu sakit apa?
Bukan aku yg sakit, tapi Bapak.
Doakan ya supaya cepat sembuh.
Siap, Zaq! Aku doakan supaya
Ayahmu lekas sembuh.
Aku letakkan hape karena aku
yakin tak akan ada balasan lagi darinya. Aku menatap jauh ke luar jendela mobil
yang dengan gagah melewati jalur pantura Babat, tempat tinggal Rozaq. Aku bukan
ingin bertemu Rozaq, tapi ingin bertemu kedua orang tuanya. Aku ingin meminta
maaf atas sesuatu. Ya, Rozaq pernah bilang padaku bahwa Ayahnya melarang dia
untuk berpacaran sampai lulus jadi dokter. Namun, Rozaq membangkang. Ia bahkan
dengan nekat naik sepeda motor menyebrangi selat Bali hanya untuk menyatakan
perasaannya padaku. Kedua orang tuanya tak tahu bahwa putra tunggalnya ini sedang
berada di luar pulau. Aku tak suka kondisi itu. Aku meminta Rozaq untuk
menelpon kedua orang tuanya untuk mengabarkan posisinya. Jika tidak, aku tak
mau bicara dengannya sekalipun ia jauh2 dari Jember.
Sebenarnya aku tak enak hati
menjalin hubungan backstreet seperti
ini. Aku ingin kedua orangtuanya tau, seperti aku yang selalu berterus terang
pada Ibu dan Ayahku. Itu salah satu faktor mengapa aku melepaskannya, sebab aku
mulai meragukan keseriusannya. Lagipula ia tak pernah menentukan kapan ia akan
memberitahu orang tuanya soal ini. Ia selalu berkata, “Nanti ada waktunya.”
Jawaban itu terasa ngambang bagiku. Bukan itu yang aku mau. Aku pun tak bisa
menjelaskan padanya tentang apa yang aku mau. Aku ingin ia menjadi lebih dari
sekadar pacarku. Itu saja.
Jika saja aku benar-benar berada
dihadapan Ayahnya sekarang, atau minimal, ibunya. Aku akan berkata: “Pak, Bu,
saya minta maaf karena menjadi penyebab Rozaq tidak menuruti perintah Bapak dan
Ibu. Bukan Rozaq yang salah, tapi saya. Rozaq itu anak baik-baik, jadi tolong
jangan salahkan dia. Dan tolong maafkan saya karena sudah membuat Rozaq
melewati masa mudanya dengan kisah cinta. Maafkan saya sebelum nanti, besok,
lusa, atau mungkin minggu depan saya meninggalkan dunia fana ini.” Aku
membayangkan diriku melontarkan kalimat itu dengan tertunduk khidmat meratapi
semua kekhilafanku.
***
Dering Sponge Bob berbunyi. Diki
membalas SMS.
Ayah Rozaq meninggal semalam,
Reqgi. Pagi ini baru tersiar kabarnya. Kami, teman2, berniat melayat.
Melayat ke Babat? Aku juga pengen
ikut. Sebenarnya aku sudah punya firasat pas dua kali lewat Babat kemarin. Tapi
sekarang aku lg di Tangerang. Siapa saja dari kalian yang ikut?
Tidak semua, Reqgi. Hanya
perwakilan saja. Dan aku bukan orang yg beruntung utk bisa kesana.
Aku merebahkan tubuh yang sedari
kemarin kurang enak ini. Ya, sudah beberapa hari ini aku kurang sehat. Aku tak
tau harus berucap apa. Pergi melayat ke Babat seorang diri rasanya tidak
memungkinkan. Telepon pun aku tak enak hati. Aku bertanya2, apakah gadis pujaan
hatinya kini sedang mendampinginya untuk siap membesarkan hati saat mulai
berkeping2 karena kehilangan? Jika iya, aku sadar siapa aku. Aku hanya mimpi
buruk bagi Rozaq. Jika tidak, maka aku akan terus mendoakannya dari sini. Aku
tutup buku diaryku. Aku pejamkan mataku. Selamat jalan, Bapaknya Rozaq. Jangan
pernah patah semangat, Zaq! Gumamku dalam hati…
Aku membuka mata. Aku tutup lagi.
Aku buka lagi. Aku teringat Mas IF. Ingin sekali aku menceritakan kepedihanku
ini padanya, seperti ketika aku bercerita via fesbuk tentang teman2ku yang
mabuk saat kersos. Namun, aku urungkan niatku. Aku kembali pejamkan mata. Bismillah….
Reqgi First Trasia
Tangerang, 31 Agustus 2012
Komentar