Cerita Liburan 1
Cerita Liburan 1
Istanbul memang menorehkan memori yang tiada terkira
indahnya, tapi kini aku sudah di Indonesia, Denpasar tepatnya. Aku harus
kembali melanjutkan aktivitas. Aku harus mengejar ketinggalan sebab aku telah
meninggalkan blok Sistem Genitalia dan Reproduksi selama seminggu untuk Turki,
untuk sebuah pengalaman yang mungkin tidak dirasakan oleh setiap mahasiswa
kedokteran di Indonesia. Ya, aku harus mengejar ketinggalan sebab 2 minggu lagi
aku harus ujian blok dan ujian OSCE.
Sebelum berangkat ke Istanbul, aku habiskan dulu Fisiology
Guyton dan Patofisiology Sylvia, agar setelah kembali, aku hanya sekadar
mereview slide dan membaca soal2 kasus. Entahlah, ujian kali ini aku tunaikan
dengan penuh kepasrahan. Pasalnya, jarang ada mahasiswa kedokteran yang bisa
mengejar ketinggalan kalau bolosnya sampai satu minggu. Kalaupun ada, nilai
ujiannya pas-pasan. Tapi aku sungguh tak percaya bahwa Allah amat sangat
menyayangiku. Rasa sayangNya sungguh sangat tak ku duga. Allah meluluskanku
OSCE dan memberiku nilai 90 untuk blok Sistem Genitalia dan Reproduksi. Aku
amat heran, sebab hanya 3 orang di English Class yang mendapatkan nilai 90.
Cuma aku, Uya, dan Diah Laksmi, hehe… Tak ada maksud menyombongkan diri, aku
hanya ingin membagi rasa heranku yang sampai saat ini tak ku pahami arahnya.
Begitu pula dengan hasil ujian Cardio yang baru keluar lebih
dari dua bulan setelah hari-H ujian. Hasil itu keluar tepat dua hari pasca
Kersos. Kurang dari 20% di angkatanku yang bisa lulus ujian Cardio. Namun
Alhamdulillah aku termasuk dalam 20% mahasiswa yang beruntung itu. Lagi2 aku
heran betapa Allah menyayangiku tiada kira. Aku lulus semua blok dan bisa
menikmati liburan selama sebulan penuh. Seharusnya aku bisa libur selama 5
minggu, tetapi karena terpotong kersos 4 hari dan menunggu nilai Cardio 2 hari,
alhasil aku mendapatkan 4 minggu, dari tanggal 7 Agustus hingga 9 September
inshaAllah.
Bicara tentang Kersos, sejujurnya tak begitu membahagiakan,
tapi banyak justru yang ingin aku tuliskan dari ketidakbahagiaan itu. Well, ada
beberapa teman di angkatanku yang memiliki duit lebih, mereka menginap di Hotel
dan paginya kembali ke lapangan untuk melakoni pengabdian masyarakat. Namun aku
(bersama teman2 yang mungkin kurang berduit dan lebih mencintai kebersamaan)
lebih memilih tidur di pendopo desa. Tak apalah, toh persediaan uangku juga tak
cukup, terlebih lagi hutangku pada Ayah dan Ibu untuk pembelian sepeda motor
dan biaya pesawat ke Turki belum ku lunasi. Memang, Ayah dan Ibu sama sekali
tak menuntutku untuk mengembalikannya, hanya saja aku masih punya nurani untuk
memahami bahwa selama ini mereka sudah cukup banyak menghabiskan dana untuk
memodali putrinya yang satu ini.
Pertama tiba di pendopo desa, aroma tak sedap tak
segan-segan menghampiri hidung. Aku bertanya pada salah seorang temanku,
ternyata aroma ini berasal dari kandang peternakan babi tepat di samping
pendopo. Astagfirullah, entah apakah aku bisa atau tidak bertahan disini selama
4 hari? Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus bertahan. Aku masih bisa
bersyukur sebab kami (mahasiswa muslim) disediakan oleh panitia ruang sholat
kecil berukuran 3x4 m2 sebab sama sekali tak ada masjid di desa ini, bahkan di
kelurahan ini. Ruang sholat ini yang nantinya kami pakai untuk memasak makanan
sahur (karena Kersos ini bertepatan dengan bulan Ramadhan), untuk tidur, dan
untuk sholat tentunya.
Hari pertama sahur, aku dan Reza memasak tumis sayur kacang
panjang dan tempe. Hari kedua sahur, aku dan Reza memasak tumis buncis dan
wortel. Hari ketiga sahur ini Reza bangun agak lambat. Akhirnya aku meminta
tolong Jung ewi yang kebetulan sudah bangun untuk memasangkan sambungan gas LPG
ke kompor, tapi ia sama saja denganku, tak bisa. Dia meminta tolong salah
seorang teman laki-laki non-muslim yang kebetulan sedang begadang bersama
teman-teman lain di malam terakhir kersos itu. Oh, pantas saja di luar sana
terdengar begitu ramai. Ternyata mereka terjaga hingga pagi tiba.
Teman laki2 non-muslim yang membantuku itu Arya namanya. Ia
begitu baik memasangkan gas LPG, membawakan satu kardus air mineral ke dalam
ruang multifungsi ini, membantuku memasak mie instan, dan mengajakku ngobrol
tentunya. Salah seorang teman laki2 lain mengintip ke dalam masjid kecil ini,
ia memberi kode pada Jung Ewi tentang suatu hal. Aku melihatnya, hanya saja aku
tak paham atas kode itu dan berusaha berpositif thinking. Setelah menerima
kode, Jung Ewi langsung menghindar membelakangi Arya, sementara aku masih tetap
sibuk memasak mie. Berikutnya, ada dua teman laki2 yang bergantian meminta mie
instan karena perut lapar semalaman begadang.
Salah satu dari mereka spontan berucap, “Hati2, Reqgi. Dia
mabuk.” Ujarnya sambil menunjuk Arya. Aku hanya tersenyum tanda tak percaya
karena dalam otakku, tak mungkin orang mabuk bisa memasangkan LPG, mengambil
satu kardus air, membantuku memasak, membelikan minyak goreng untuk menggoreng
telur, dan mengobrol panjang lebar hingga hampir semua masakan matang.
“Enak aja ke, aku ini kompos mentis.”ujar Arya membela
dirinya.
Memang benar, sedari tadi aku melihatnya cukup compos
mentis. Setelah selesai membantuku, ia pamit tidur karena merasa ngantuk. Aku
mempersilakan dan mengucapkan terimakasih atas kebaikannya. Usai Arya pergi,
aku membangunkan teman2 muslim yang lain untuk sahur karena masakan sudah
matang. Saat hendak sahur bersama, ada teman laki2 non-muslim lain, Cok De
namanya, yang masuk ke ruang sholat ini. Cok De berdiri sekitar satu meter
disampingku. Aku tak melihat jelas ke arahnya, tetapi teman2 lain langsung
istigfar melihat kehadirannya. Aku hanya menyaksikan sekilas raut wajah Cok De
yang tampak pusing, sebab aku tak memakai kacamata saat itu dan sibuk menggeser
nasi dalam magiccom. Setelah Cok De keluar tanpa pamit, teman2 semua tertawa.
Aku heran, aku bertanya, ada apa gerangan? Wow, ternyata (kata teman2) Cok De
masuk tadi dalam kondisi resleting celana terbuka. Ternyata dia sedang mabuk!
Kami tak terlalu ambil pusing atas kejadian itu dan langsung
menyantap makanan, sebab disini tak ada masjid besar yang bisa mengingatkan
waktu imsak, jadi kami makan saja selama fajar belum mengintip dari kejauhan.
Saat hendak sholat subuh, kami mendengar ada temanku (non muslim) yang
berteriak marah karena merasa kecipratan air. Selidik punya selidik ternyata ia
terkena air kencing Cok De. Ya, Cok De yang saat sahur masuk ke ruang sholat
dengan kondisi celana terbuka itu ternyata hendak buang air kecil. Karena
dihalau oleh beberapa teman laki2 yang muslim, akhirnya ia keluar dari masjid
mungil ini. Tapi mereka sama sekali tak menyadari kalau kemudian Cok De
melampiaskan HIP-nya (Hasrat Ingin Pipis) di samping ruang sholat dekat dengan
pintu masuk, dimana tempat itu sedang ditiduri oleh temanku yang kecipratan air
kencing tadi.
Aku bergumam dalam hati, “Ya Allah, tiga hari aku dan teman2
muslim disini berusaha menjaga agar tidak ada anjing berkeliaran dan mampir ke
dekat ruang sholat sehingga membuat najis, eh malah bukan anjing yang
mengencingi, melainkan manusia mabuk. Huff…”
Paginya, aku bertemu Arya. Ia menyapaku, “Hei, Reqgi,
kemarin aku gak ngapa2in kamu kan?”
“Ngapa2in gimana maksudnya?”
“Kata teman2, semalam aku mabuk, dan sempat ngobrol sama
kamu.”
“Masa’ sih? Kemarin kamu malah dengan baik hati bantuin aku
masak lho. Emang kamu gak ingat?”
“Aku sama sekali gak ingat kalau bantuin kamu masak. Emang
iya ya?”
Aku hanya tersenyum dan berlalu di hadapannya. Ups, ternyata
semalam aku dibantu masak oleh orang mabuk. Tapi sungguh, Arya benar2 terlihat
compos mentis saat itu. Aku sama sekali tak melihat kejanggalan dari sikapnya.
Hmm…
Sepertinya ku sudahi saja ceritaku tentang Kersos. Usai
Kersos, keesokan harinya aku sibuk membersihkan kamar, mencuci, setrika, nonton
tivi, menservis sepeda motor, packing buat pulkam, memasak, membaca artikel di
Internet, dan sudah pasti => menulis! Hehe… semua itu ku lakukan agar aku
tak bosan menunggu hasil Ujian Cardio yang tak kunjung mencuat ke permukaan.
Hari ke dua penantian hasil ujian aku pasrahkan. Aku enggan
beranjak dari kamar, tapi apa daya, salah satu pegawai UPM ingin meminta
bantuanku, jadi mau tak mau aku harus ke kampus. Setelah urusan dengan pegawai
UPM beres, aku melihat teman2ku berkumpul didepan ruang kordik. Mereka sedang
menunggu hasil ujian Cardio yang isunya akan ditempel hari ini. Aku memutuskan
untuk pergi ke masjid untuk sholat dzhuhur dulu. Dan saat aku kembali ke
kampus, hasil ujian emang benar-benar sudah terpajang. Aku lihat nilaiku,
Alhamdulillah aku lulus bukan dengan nilai pas-pasan. Melihat banyak tanda TL
(tidak lulus) dari teman2ku, aku langsung beringsut pergi. Tak enak hati
rasanya jika aku tersenyum lebar dan puas menjadi bagian dari 20% mahasiswa
yang lulus, sementara teman2ku yang TL sedang berduka lara didepan tembok
ratapan meyesali nasib yang mereka tuduh sebagai perbuatan sang sekertaris dan
ketua blok Cardio.
Sesampai di kos, aku mendapat telepon dari Reza. Ia
membelikanku tiket pulang pesawat promo ke Cengkareng. Ia begitu baik sampai
mengantarkan tiket itu ke kosku. Setelah aku mengembalikan uangnya yang dipakai
sementara untuk membeli tiketku, kami mengobrol sebentar, lalu dia kembali ke
kosnya.
Singkat cerita, aku dan Reza sudah sampai di Bandara
Sukarno-Hatta. Kami berpisah. Reza naik Damri ke arah Bekasi, sedangkan aku
dijemput keluargaku. Saat mobil hendak parkir, aku terkejut melihat rumahku
yang habis direnovasi. Sungguh sangat berbeda dengan semula. Aku langsung
menurunkan barang dan membantu Ibu untuk mengangkut sebagian barang keluarga
yang masih tertinggal di rumah kontrakan sementara (selagi rumah kami
direnovasi).
Dari tanggal 8 – 17 Agustus, ku habiskan dirumah dengan :
mengobrol bersama Kakek,
membersihkan rumah,
membantu Ibu di toko bajunya,
membantu memasak,
merapikan buku2ku dari SMP hingga SMA,
membaca trilogy Sepatu Dahlan,
mengedit berita dari Staf Redaksi untuk Spektrum Online,
membuka kiriman sofcopy Injeksi PKKMB,
menyusun berita dari Kadiv Spektrum,
membalas SMS konsul dari Kadiv Esai dan Debat KIH yang baru,
mengingatkan Staf Dep PLDF DEW 5 FULDFK untuk mengirimkan
laporan follow-up kader pasca MMLC,
menyusun laporan
berupa resume kuliah selama di Istanbul,
menuliskan kegiatanku selama di Istanbul sebanyak 50
halaman,
mencari mahasiswa FK di Indonesia yang bersedia memberikan
testimony untuk Majalah Spektrum,
Net-Meeting dengan Mas Faisol dan Bang Aan terkait FIMA,
dll.
Tanggal 18 Agustus, sesaat sebelum malam takbiran, kami
sekeluarga mudik ke Sidoarjo. Daerah Cikampek sungguh macet luar binasa! Mobil
kami jalan laksana siput. Lebih sering direm daripada digas. Well, hampir 4 jam
kami dipenjara dalam suasana mudik Cikampek! Hmm… Bayangkan saja, subuh2 kami
baru sampai Indramayu. Kami mencari masjid di sepanjang jalan dan langsung
sholat Idul Fitri di tempat. Kami lanjutkan perjalanan menyusuri jalur pantura.
Akhirnya kami sampai juga di Griyo Mapan Sentosa (GMS), komplek perumahan
tempat aku dibesarkan selama dua belas tahun. Sebenarnya aku meninap di rumah
orang tuaku sendiri, tapi karena sudah punya
rumah di Tangerang, rumah di Sidoarjo ini ditinggali oleh Om Darwis,
Tante Ita, dan anaknya (Devadan).
Setelah semalam istirahat di GMS, kami mengantar Kakek ke
Krian, dan melanjutkan perjalanan ke Malang, rumah Nenek dari Ayah. Di Malang,
aku banyak bertemu dengan keluarga Ayah. Memang, atmosfer saat bertemu dengan
keluarga Ibu di Sidoarjo dengan keluarga Ayah di Malang sungguh sangat berbeda.
Keluarga Ayah tergolong kalangan menengah ke bawah, sedangkan keluarga Ibu
tergolong menengah ke atas.
Banyak sekali yang ingin aku ceritakan dari keluarga Ayah
dan Ibu, tapi mungkin akan aku sajikan di posting lain dengan terlebih dahulu
ku perlihatkan silsilah keluarga agar para pembaca tak bingung saat aku bercerita
nanti.
Hari pertama di Malang hanya dihabiskan dengan ngobrol,
mengakrabkan diri. Hari kedua kami gunakan untuk berkunjung ke rumah kakaknya
Nenek. Hari ketiga kami pergi ke Gunung Bromo. Subhanallah, ini toh yang
namanya Bromo. Ini toh yang orang bilang keren banget. Ini toh tempat tinggal
suku Tengger yang sering diceritakan di dongeng. Luar biasa! Aku sangat
menyukainya.
Begitu sampai di Bromo, angin sejuk tanpa basa-basi menyusup
melewati pori-pori kakiku. Dingin sekali rasanya. Aku sama sekali tak membawa
apapun untuk sekadar menghangatkan tubuh. Aku jadi teringat syal bermotif
kombinasi bendera Indonesia dan Palestina pemberian Mas IF (idolaku, baca
posting sebelumnya). Ah, seandainya saja aku membawa syal itu, tentu leherku
sedikit lebih hangat. Alhasil, aku harus merogoh kantong sebanyak 30rb untuk
membeli syal, kaos kaki tebal, dan sebuah sarung tangan. Tak apalah, daripada
aku tak bisa berlama-lama menikmati Broo hanya karena hipotermia.
Aku tiba di Bromo selepas sholat subuh untuk menyaksikan
matahari terbit, walau sesampainya disana (karena perjalanan naik yang sangat
jauh) kami kehilangan momen sunrise. Sudahlah, tak perlu disesali, suatu saat
nanti aku akan kembali ke bromo dengan perencanaan yang jauh lebih matang.
Walau tak sampai melihat Kawah Ijen (inshaAllah suatu saat
nanti aku akan melihatnya), aku cukup bahagia melihat pemandangan dari atas
Penanjakan. Setelah puas mengabadikan diri dalam kamera, kami pulang kembali ke
Malang. Kami beristirahat dan keesokan harinya kembali ke GMS.
Tak lama singgah di GMS, kami langsung menuju Kediri, tempat
Kakek (dari Ibu) dibesarkan. Semalam di Kediri, kami kembali ke GMS untuk
melanjutkan silaturahim berkeliling Surabaya. Usai silaturahim, orangtuaku
ingin menyenangkan Zenia, Kaisar, dan Devadan dengan membawa mereka ke Taman
Remaja Surabaya. Taman ini seperti Dufan-nya Jakarta, JatimPark-nya Malang,
atau WBL-nya Lamongan, hanya saja dengan lokasi yang jauh lebih sempit dan
wahana permainan yang lebih terbatas.
Esoknya, kami kembali pulang ke Tangerang karena adik2ku
sudah akan masuk sekolah. Sementara aku melanjutkan aktivitasku untuk menyusun
Majalah Spektrum BPN ISMKI, karena aku Pemimpin Redaksi untuk edisi ini. Sempat
tejadi obrolan SMS yang cukup membuatku geleng2 kepala. Memang, bekerja sama
dengan orang lain membutuhkan kesabaran ekstra.
Aku : Yudo, file yang kamu kirim cuma berita aja ya? Gak ada
foto atau gambar?
Yudo : Ga ada, Reqgi. Semuanya berita, cuma beberapa aja
yang ada grafik gitu.
Aku : Oh, oke deh…
Yudo : Reqgiii, hmm maaf labil, hehe. Yang berita kemarin
jadinya Opini ya. Nanti malam coba aku kirim laputnya. Maaf maaf suka labil :p
Masih keburu ga?
Aku : Masih keburu kok. Aku tunggu ya…
Yudo : Nanti malam ya, Reqgi. Katanya masih dalam proses. Aduh,
maafin ya Reqgi. Harap permaklumannya, hehe :p
Aku : Yudo, rubrik ISMKI wilayah I memang gak ada ya?
Yudo : iya, ga ada, Reqgi. Kami sudah nyerah karena sulit
banget cari bahan beritanya. Mereka kayak ga punya niat gitu kami wawancara
soalnya. Ohya, untuk laputnya aku edit dulu ya Reqgi. Bahasanya lumayan gak
bisa dimengerti, wakakak. Jadi musti ku buat ulang T.T
Aku : Laput itu yang dibuat sama Kemala kan? Jadi edisi kali
ini gak ada rubrik Opini ya?
Yudo : Begini ceritanya, Reqgi. Jadi stafku yang bertugas
untuk bua Opini itu rada geje, terus suka molor ngumpulin berita. Jadi kemarin
aku putusin Opini yang dibuat sama Kemala aku jadikan Laput. Tapi ini si stafku
udah ngumpulin laputnya, gak enak kalo gak dimuat, walaupun isinya rada gak
jelas. Jadi coba aku edit dulu ya, Reqgi. Nanti kalau menurut Reqgi ada yang
perlu diedit lagi, gpp edit aja. :D
Aku : oke2, ini kayaknya bakal telat terbit kalau begini terus…
Yudo : Iya gpp, Reqgi. Aku juga udah malas. Dirut BPN ISMKI
aja geje abisss…
Aku : Yudo, stafmu gak kamu kasih batasan kalo 1 halaman itu
600 kata? Soalnya ini aku bingung ngatur halamannya…
Yudo : Memang kalo laput, lapsus, opini, aku minta sampai
1000 kata. Jadi biasa memang kalo ketiga berita itu menghabiskan 2-3 halaman. Makanya
kita jarang menampilkan foto karena ISMKI menuntut isi kita lebih berbobot. Aku
sebenarnya kurang setuju, tapi gimana lagi. Kita soalnya ada karena ISMKI, kita
badan kelengkapannya. Reqgi tau aku sampai kesal karena Majalah Injeksi kita
waktu Munas sempat diejek karena isinya biasa banget, tapi tampilannya bagus…
Mendengar itu, aku langsung naik pitam. Aku sebagai pemimpin
redaksi sungguh sangat tidak ikhlas Majalahku diejek didepan khalayak. Sayang saja
saat itu aku tak ikut ke Makasar untuk Munas. Aku akan debat mereka habis2an
jika mereka berani berkata demikian. Aku sudah bandingkan Majalah Injeksi FK
Unud dengan Majalah2 dari FK lain. Aku tetap menganggap Majalah Injeksi nomor
satu. Bukan karena Chauvinism, tapi ini pandangan objektif. Belum ada Majalah
FK di Universitas di Indonesia ini yang punya ukuran sedemikian rupa,
penerbitan yang tak pernah telat, pengumpulan berita yang tak pernah macet,
pendistribusian ke setiap Rumah Sakit di Bali yang rutin, pemasaran yang gratis
tanpa pungutan biaya untuk mendapatkan Majalah ini, dan masih banyak aspek yang
patut untuk bisa dibanggakan. Jika dibandingkan dengan Majalah Spektrum sendiri
beberapa edisi yang lalu (sebelum FK Unud yang mengambil tender), aku lihat
Majalah Spektrum bahkan sangat tidak layak disebut sebagai Majalah skala
nasional karena memang sangat jelas terlihat dibuat asal-asalan, ukuran huruf
yang tidak sesuai dengan SOP, bobot tulisan yang ibarat jempol terbalik, dan
hal-hal lain yang sangat tidak representative dalam menggambarkan
intelektualitas mahasiswa kedokteran. Majalah baru ecek-ecek saja sudah berani
menghina Majalah yang lebih profesional. Huff… Aku tak akan keras begini jika
aku tidak dinaikkan darahku dengan hal2 yang menyulut amarah.
Aku menghabiskan liburan dengan membersihkan rumah, membantu
Ibu di toko baju, memasak, membaca 13 novel sastra, dan menulis blog. Liburanku
masih tersisa sepuluh hari lagi. Rencanaku berikutnya adalah memesan tiket ke
Bali untuk kemudian memulai perkuliahan. Semoga semester 7 aku tunaikan dengan
penuh kejayaan. Amin ya Rabb.
Reqgi First Trasia
Tangerang, 30 Agustus 2012
Komentar