Potongan Novel Saya

sebenarnya ini hanya potongan novel abal2 yg saya rampungkan 25 September 2010

AKU MENGAJAR

Suara handphone membangunkanku tidur siang sabtu itu. Suara SMS, dari Rumi.
Asslm… Dek Zir, saya ingin adek tetap memenuhi janji adek untuk membantu saya mengajar ngaji anak-anak kecil. Ba’da ashar saya dan anak-anak tunggu adek di mushola Al-Huda. 
Aku bergegas sholat ashar, mandi, dan berjalan menuju mushola itu. Sesampainya di sana, Rumi menyuruhku memperkenalkan diri di depan, sementara ia pindah berbaur dengan adik-adik yang rata-rata dibawah kelas lima SD.
Di antara adik-adik itu, Rumi berkata,”Adek-adek semua, perkenalkan ini guru baru kita, namanya Zira.”
“Assalamu’alaikum adek-adek…”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah.”jawab mereka serempak.
“Namaku Zira. Salam kenal buat semua ya…”
“Mulai hari ini kalian diajar dua guru, saya sama Zira.”lanjut Rumi. “Zira, silahkan kamu mulai ngajar mereka.”
Aku mendekati Rumi dan berbisik,”Saya harus ngapain?”
“Ya, ngajar.”
“Iya, ngajarnya gimana?”
“Ya kayak dulu kamu belajar ngaji pas SD aja.”
“Aduh.”
“Mas yakin kamu bisa kok.”
Aku mulai mengajar mereka. Satu persatu mereka menghadapku dan melanjutkan bacaan mereka yang sebelumnya. Bacaan yang bervariasi. Ada yang sudah masuk jilid enam, ada yang masih jilid satu. Mereka cepat menangkap apa yang ku ajarkan. Untuk mereka yang sudah mulai masuk bacaan Al-Qur’an, aku menyerahkannya pada Rumi. Bukan karena aku tidak bisa, tetapi lebih karena aku sulit menjelaskannya secara teori, hukum-hukum tajwid bisa aku gunakan saat membaca Qur’an, tetapi untuk mengajarkannya, aku takut tidak bisa mempertanggungjawabkan.
Hari pertama aku mengajar cukup menyenangkan, walaupun aku tidak mendapatkan upah berupa ‘materi’, tetapi ini menjadi ajang refreshing setelah seharian berada di kampus. Banyak dari mereka memanggil Rumi ‘ustadz’, artinya guru. Itu membuat mereka juga memanggilku ‘ustadzah’.
“Apa? Ustadzah?”pekikku kaget. “Aduh, please, jangan panggil aku ustadzah ya, adek-adek. Panggil aku mba Zira aja, ok?”
Salah seorang dari mereka mengadu pada Rumi.
“Ustadz Rumi, masa’ ustadzah Zira nggak mau dipanggil ustadzah.”
El-Rumi memandangku, ia tersenyum.
“Nggak apa-apa, panggil ustadzah Zira pakai mba aja ya.”
Akhirnya….mereka memanggilku mba Zira, sama seperti adik-adik kandungku di Jogja. Selain membaca, mereka juga ditugaskan Rumi untuk menghafal juz tiga puluh. Aku membantu hafalan mereka. Sesekali mereka setor hafalan padaku. Kata mereka, “Kalau setor hafalan sama ustadz Rumi, ribet. Tajwidnya harus benerlah, makhrajnya harus beginilah, inilah, itulah. Kan jadinya nggak setor-setor.”
Aku cukup menikmati mengajar mereka. Sudah beberapa minggu aku mengajar disitu tanpa rasa jenuh. Terkadang mereka curhat masalah sekolah, misalnya dapat nilai ulangan jelek, guru yang galak, teman yang jahil, dan berbagai hal yang mereka alami di sekolah saat pagi. Bahkan, mereka sempat membawa pekerjaan rumah mereka ke tempat ngaji untuk ditanyakan padaku, suatu hal yang tidak pernah dialami Rumi selama mengajar di tempat itu. Maklum, Rumi bukan tipe pendengar yang baik, membuat mereka enggan curhat pada Rumi, apalagi curhat masalah orang tua yang sukanya ngomel dan menyalahkan posisi anak. Yang mereka suka dariku adalah aku selalu berada di pihak yang mendukung mereka saat mereka bermasalah dengan orang tua, guru, dan teman, walaupun ujung-ujungnya aku menyuruh mereka untuk meminta maaf terlebih dahulu pada orang tua mereka. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun akan senang jika mereka merasa dibela.
“Mba Zira… Mba Zira… tadi aku di sekolah dapat seratus dong.”
“Wah, pintar.”balasku.
Yang lain ikut, “Aku kemarin juara satu lomba baca puisi lho, mba..”
“Keren…keren…”
“Mba…mba…tadi lukisanku dibawa sama guru ke depan kelas, terus guruku bilang ‘anak-anak ini adalah contoh lukisan yang bagus’. Gitu, mba.”
“Hebat.”
Begitulah mereka. Silih berganti menceritakan kehebatan masing-masing. Dalam jiwa anak seusia mereka, tidak terbersit keinginan untuk sombong, mereka hanya tidak mau terlihat kalah jika dibandingkan dengan teman sebaya. Hal itu wajar untuk memotivasi mereka agar lebih berprestasi.

* * *
Anak-anak itu walaupun usianya masih sangat belia, tetapi mereka punya keinginan kuat untuk mempelajari Islam lebih dalam. Beberapa kali aku meladeni pertanyaan mereka yang terkadang sulit untuk ku jawab.
“Mba Zira, kenapa sih sholat nggak boleh cepet-cepet?”
“Masa’ menghadap Allah pakai ngebut sih? Itu namanya nggak sopan lho.”
“Tapi kan yang penting sholat, mba. Daripada nggak.”
“Begini, aku jelaskan pelan-pelan ya. Ayo, yang lain ikut mendengarkan sini.”
Mereka berkumpul lagi menyimak perkataanku.
“Sholat itu memang perintah dan kewajiban, tetapi sebisa mungkin kalian jangan anggap itu sebagai beban. Anggaplah itu sebagai kebutuhan kalian, seperti makan, minum, tidur. Itu semua supaya kalian nggak terpaksa menjalaninya. Kita harus mendahulu-kan sholat daripada kegiatan yang lain. Misalnya, sponge bob kan tayangnya pas maghrib tuh. Kalian jangan tunggu iklan dulu, baru sholat. Tapi kalian sholat dulu, kan besok paginya ada siaran ulangnya sponge bob. Iya nggak?”
“Tapi kalau tiba-tiba siaran ulangnya nggak ada, mba?”
“Kan bisa minta tolong orang lain untuk ceritakan.”
“Tapi kan nggak seru kalau diceritain.”
“Kalian bisa buka internet kan? Nah, dari situ kan kalian bisa tahu cerita-cerita kartun, bukan cuma sponge bob. Bahkan di internet kalian bisa dapat lebih banyak cerita, tapi buka internetnya setelah selesai sholat.”
Mereka mengangguk. Satu per satu mereka bertanya hal-hal yang terkadang tidak nyambung antara pertanyaan satu dengan yang lainnya.
“Mba Zeera, aku sudah sholat lima waktu, sholat tahajud, ngaji, tapi kenapa Allah nggak ngasih aku rangking satu? Padahal aku juga sudah belajar.”
“Emang kamu rangking berapa?”
“Rangking tiga.”
“Kamu begitu dengar adzan langsung ambil wudhu?”
Ia menggeleng.
“Hmm, begini. Kita ambil contoh orang yang antri daging Qurban. Yang dapat daging duluan kan yang antrinya lebih awal. Kalau datangnya belakangan, mungkin kita cuma dapat sisa-sisanya aja. Sama seperti sholat. Anggap aja kita lagi antri rangking satu, tapi ternyata temanmu lebih awal menghadap Allah. Jadi ya Allah nggak salah dong kalau ngasih temanmu dulu, baru kamu.”
“Tapi masa’ sekali-kali nggak dikasih sih, mba?”
“Allah bukannya nggak ngasih, Dia hanya menunda. Mungkin rangking satumu masih disimpan sama Allah untuk jadi cadangan, supaya nanti pas SMP kamu jadi langganan ranking satu.”
Murid yang lain bertanya.
“Mba, teman saya Islam, tapi nggak pernah sholat. Eeeh, tapi hidupnya enak, gampang. Nggak pernah dapat nilai jelek, kayaknya Allah nggak pernah nunda-nunda rejekinya.”
“Tapi kan kalian nggak tahu kalau misalnya Allah menunda memberikan cobaan ke dia. Cobaannya dikumpulkan terus, terus, dan terus, sampai akhirnya saat cobaan itu datang, dia jadi belum siap untuk menghadapinya. Beda sama kalian yang disayang Allah. Ini adalah salah satu cara Allah untuk membuat kalian kuat, tahan banting terhadap berbagai cobaan, kebal!.”
“Mba, tetanggaku itu orang kaya lho. Rumahnya bagus, anaknya cantik dan ganteng, pintar-pintar lagi. Kayaknya sudah komplit. Kalau dia masih sholat, kan nggak ada apa-apa lagi yang harus diminta. Semuanya sudah punya.”
“Tetapi tetanggamu itu masih tetap harus sholat, itu sebagai bentuk rasa syukurnya atas apa yang sudah Allah berikan.”
“Mba Zeera, temanku bilang kalau hari gini masih sholat itu nggak gaul! Kalau aku berangkat ngaji ke sini aja diledekin ‘Pak Haji mau ke mushola nih yeee’. Gitu mba…”
“Terus kenapa kamu masih berangkat ngaji?”
“Kalau aku balik pulang, bisa dilempar piring sama ibu.”
Semua yang ada di ruangan tertawa. Rumi pun ikut tertawa. Sekali lagi, anak-anak itu tidak pernah mendiskusikan persoalan ini pada Rumi.
“Kalau ada teman yang ngeledekin kalian, cuekin aja. Nanti lama-lama dia capek sendiri.”
“Mba, gimana caranya kita menikmati sholat?”
“Ya sholatnya jangan buru-buru. Kalau kata group band Kotak sih, pelan-pelan saja!”
Mereka tertawa.
“Tapi kan bacaannya sudah hafal, mba. Kalau pelan-pelan nanti malah kayak orang baru hafal.”
“Bukan begitu maksudnya. Kita ambil contoh pembacaan teks Proklamasi. Itu kan pelan-pelan, nggak ngebut, lebih enak didengar, beda kayak operator telpon yang ngomongnya cepat-cepat. Kalau Proklamasi dibaca dengan nada kayak operator telpon kan jadinya nggak enak di telinga. Sama seperti bacaan sholat. Kita pelan-pelan supaya enak didengar sama Allah.”
“Kalau misalnya kita lupa sholat gimana, mba?”
“Rasul bersabda, barang siapa yang lupa sholat, hendaklah ia sholat ketika ingat dan tidak ada kafarahnya selain itu saja. Dalam riwayat yang lain, barang siapa yang lupa sholat atau tertidur. Tapi, kalian jangan pura-pura lupa, karena bagaimanapun Allah itu Maha Melihat, Maha Tahu apa yang dipikirkan hambanya.”
“Emang kalau nggak sholat hukumannya apa?”
“Ya dosa lah!” sahut yang lain.
“Rasul pernah bercerita tentang mimpinya. Ada seorang laki-laki sedang terbaring dan ada laki-laki lain yang membawa batu besar. Tiba-tiba orang itu menjatuhkan batu tepat di atas kepala orang yang sedang berbaring. Kepala orang itu hancur dan kemudian kembali lagi. Si pembawa batu untuk ke sekian kalinya menjatuhkan batu itu tepat di atas kepala orang yang berbaring. Ia terus menerus mengulanginya. Sesungguhnya laki-laki itu adalah orang yang mengambil Al-Qur’an tapi ia menolaknya, dan orang yang tidur untuk meninggalkan sholat wajib.”
“Hiiiii, serem.” Seru mereka ketakutan.
“Tapi kan kita masih kecil, mba. Sholatnya nanti aja kalau sudah gede.”
“Ini sabdanya Rasul lagi ya, perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka jika mereka tidak mengerjakan sholat pada usia sepuluh tahun…”
Aku melihat mereka satu per satu. Semakin aku banyak bicara, semakin terlihat dari raut mereka berjuta pertanyaan yang mengganggu, terutama salah seorang murid laki-laki yang tiada hari tanpa menceritakan pertandingan sepak bola.
“Ada yang kenal Franck Ribery?”
Si anak itu spontan mengacungkan tangannya.
“Aku tahu, mba. Dia itu gelandang dari Prancis, sekarang main di klub Bundesliga, Bayern Muenchen, Jerman. Kenapa, mba?
“Dia itu muslim yang santun, rendah hati dan rajin melaksanakan sholat lima waktu di manapun dan pada kondisi apapun. Begitu juga dengan Zinedine Zidane, Nicholas Anelka (Chelsea), Frederik Kanoute, Khalis Bouhlahrouz, Zlatan Ibrahimovic (Inter Milan), Eric Abidal (Barcelona), Kolo Toure (Chelsea), Yaya Toure (Barcelona), dan masih banyak lagi.”
“Mereka pemain andalan semua tuh, mba.” Komentarnya.
“Ribery itu selalu berdoa dengan menengadahkan kedua tangan sebelum pertandingan. Dia adalah pemain nasional Prancis yang teratur sholat di masjid selatan Marseille.”
Anak penggemar bola itu tampak begitu antusias. Seperti sudah ada sesuatu tertanam dalam pikirannya tentang apa yang harus ia lakukan sepulang dari ngaji.
“Wujud kasih sayang orang tua pada kita adalah dengan menyuruh kita sholat. Mereka tidak ingin anaknya melakukan dosa besar dengan meninggalkan sholat. Untung kita masih punya orang tua yang mau peduli dengan sholat kita. Zaman sekarang banyak orang tua yang nggak mau peduli dengan pendidikan agama anak-nya. Kadang-kadang kita ngerasa orang tua kita itu cerewet, tapi itu semua untuk kebaikan akhirat kita. Akan lebih baik lagi kalau kita mau rutin sholat jamaah di masjid.”
“Tapi, mba. Kalau sholat di masjid itu nggak enak. Suratnya panjang-panjang. Pernah aku coba bilang ke imamnya sebelum sholat supaya baca An-Nas atau Al-Ikhlas aja, eh aku malah diketawain. Sebal!”
“Kalau bacanya An-Nas atau Al-Ikhlas terus, nanti kalau misalnya Allah bosen gimana?”
“Iya juga sih. Mba, kadang-kadang saya lupa jumlah rakaat sholat lho. Itu gimana?”
“Aku juga manusia biasa. Sama seperti kalian, aku juga kadang-kadang lupa sudah berapa rakaat. Kalau lagi kayak gitu, lakukan sujud syahwi dua kali sebelum salam. Rasul bersabda, apabila dikumandangkan adzan sholat, syetan akan berlari sampai ia tidak mendengar suara adzan itu. Bila muadzin selesai adzan, syetan kembali lagi. Saat iqamat dikumandangkan, ia berlari. Bila telah selesai iqamat, ia datang lagi. Ia akan selalu bersama orang yang sholat sambil berkata ‘ingatlah apa yang tadi tidak kamu ingat!’ sehingga orang itu tidak tahu berapa rakaat ia sholat.” (HR Bukhari)
“Kalau sering ngerasa pengen kentut gimana?”
“Rasul bersabda, apabila salah seorang dari kalian bimbang atas apa yang dirasakan di perutnya apakah telah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid sampai ia yakin telah mendengar suara atau mencium baunya.” (HR Muslim)
Begitulah mereka, banyak bertanya. Ciri-ciri orang cerdas adalah dengan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, seperti mereka!

Komentar

Spyrozaq mengatakan…
wah... hapal pemain yang muslim... aku aja ga hapal... ^^
Anonim mengatakan…
nice post...'_'b
Reqgi First Trasia mengatakan…
@Rozaq: itu juga dapat hasil baca2, zaq hehehe... :)

@Mr. anonim: thanks, sir... :D
salam kenal...
Anonim mengatakan…
hmmm...with pleasure...what should i call you?miss?mrs?lady?or somethin else?...
Reqgi First Trasia mengatakan…
you may call me Reqgi... :)
what should I call u, sir?
Anonim mengatakan…
ahaha,is that your name reqgi?...you have a unique name...
hmmm,,,just call me tri...^0^
Reqgi First Trasia mengatakan…
tri, nice to see you... :)
Reqgi First Trasia mengatakan…
hai, mac... kok baru muncul?
kenapa e'ehm, mac?
dzikrill mengatakan…
y tdk mengapa reqgi...lanjutkan :D

Postingan Populer