Hormone Replacement Therapy

Dalam 4 bulan terakhir ini aku banyak kehilangan…
Pertama, aku kehilangan teman-teman yang sempat beberapa bulan mengisi hidupku. Santi, Priska, dan Putri… aku terpaksa harus pergi dari mereka… mereka yang dengan bahagia menghina aku seolah aku adalah rumput yang memang layak untuk diinjak… semua berawal dari kelabilanku meng-upload sebuah cerpen… Santi tersinggung dengan cerpen yang ku buat, mungkin ia merasa tersindir karena cerpen itu ia rasa mengisahkan tentang dirinya… ia marah… ia masuk ke kamarku dan menjabarkan hal-hal yang ia tidak suka dari aku… dari A – Z… ia tak tahu bahwa sebenarnya lebih banyak hal yang aku tidak suka darinya, tapi aku diam saja… aku mencoba memahami bahwa tak semua orang bisa menjadi seperti yang kita harapkan… selesai itu, mereka bertiga sering membawa pacar mereka menginap dalam kamar kosnya… aku biarkan sehari dua hari karena aku berusaha berpikir positif… tapi hal itu berlanjut hingga waktu yang aku sendiri tak bisa menghitungnya dengan jari… aku menuliskan satu kalimat di fesbuk, “Melati akan tetap putih walau harus tumbuh diatas comberan”… Mereka semua tersinggung dan mengatakan banyak hal busuk tentang aku… Priska bilang, “Nyantai dong! Bukan lingkungan ini yg rusak, tapi pikiran lo aja yg rusak! Dasar teroris fuck!” Kak putri bilang, “Heh, dasar setan! Monyet! Teroris! Munafik! Sok alim!” Santi bilang, “Semut di ujung pulau Nampak, gajah di pelupuk mata tak Nampak!” Begitulah, hampir setiap hari aku mendapat cercaan yang bertubi2 dari mereka hanya karena ‘melati’ dan ‘comberan’… well, kalau mereka tidak merasa sebagai ‘comberan’, mengapa mereka harus kebakan jenggot? Aku tahu sebenarnya mereka paham bahwa mengajak pacar menginap dengan lampu kamar yang dipadamkan itu adalah hal yang salah, tapi mereka tak mau dianggap salah, apalagi oleh bocah sepertiku yang usianya lebih muda dari mereka… aku pindah dari kos itu… hijrah dari lingkungan maksiat yang sangat tidak kondusif untuk kemajuan personalityku… hijrah ke tempat yang insyaAllah lebih baik…

Kedua, aku kehilangan Rzq… tak lama setelah aku pindah ke kos yang baru… benar, aku saat itu sungguh merasa kehilangan… kata2nya yang menyakitkan itu membuat aku selama hampir 2 bulan (saat itu) tidak tenang… dia bertanya, “kenapa sih kamu sering banget minta putus, Reqg? Aku heran sama kamu!” Aku mencari beribu alasan mengapa aku meminta hal itu, dari mulai alasan karena dia menyembunyikan ini dihadapan ortunya, alasanku yang mempertanyakan kesungguhannya, alasan dia sibuk TBM dan gak pernah telpon, dll. Padahal bukan itu sebenarnya akar dari semua ini. Satu hal yang tak pernah ia sadari adalah sekitar 3 bulan setelah kami berkomitmen, entah bercanda atau serius, ia berkata padaku via telpon, “Aku sampai sekarang masih belum tau lho, sebenarnya aku beneran suka sama kamu atau cuma kagum biasa.” Mendengar pernyataan itu rasanya seperti tersambar sesuatu yang lebih dahsyat dari petir. Bayangkan, selama ini kamu jadian sama orang yang nggak beneran suka sama kamu? Gimana coba? Tapi saat itu aku mengerahkan segala energy positif untuk berpikir positif terhadap Rzq. Aku diam saja… ia tidak menyadari hal itu… aku mencoba bertahan karena aku sudah benar jatuh hati padanya. Aku teringat kata2 ibu, “Wanita itu lebih baik mendampingi laki2 yang mencintainya daripada yang dicintainya”. Dari situ aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Hubungan yang aku jalani dengan hati, tanpa otak! Entah dia masih mengingat kata2nya yg menyakitkan itu atau tidak, yang jelas aku masih sangat mengingatnya… hubungan ini sampai pada titik akhir yang benar tidak bisa dipertahankan lagi.

Ketiga, aku kehilangan Rz. Aku tak ada hati dengannya. Aku hanya menganggapnya murni sebagai kawanku. Aku rasakan kehilangan itu setelah Rz jatuh hati pada C. Aku mengeri dan paham betul mengapa Rz menjauhi aku. bukan karena ia membenciku, tapi tentu ia tak ingin targetnya lepas jika C sering melihat aku bersama Rz. Bahkan Rz dengan tegas mengatakan pada teman2 IMA, “Stop ngejodoh2in gue sama Reqgi! Gue gak enak sama gebetan gue!” Bayangkan? Gimana perasaanku saat itu? Aku sedih bukan kepalang… tidak! Aku tidak cemburu! sama sekali tidak cemburu. aku tau bagaimana rasanya cemburu, dan aku tau kesedihanku ini bukan atas dasar cemburu. Semenjak C mengisi hari2 Rz, aku jadi lebih sering berangkat ke Masjid sendiri. Teman2 IMA bertanya, “Kok belakangan ini gak pernah bareng kak Rz sih, mba?” Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan mereka. Di kampus Rz juga jadi jarang mengajakku bicara, beda dengan Rz yg dulu, yang selalu membawa cerita2 unik dan menceritakannya padaku dengan gayanya yang khas. Ya, aku kehilangan teman. Aku kehilangan Rz.

Keempat, aku kehilangan IP-ku… semester lalu IP-ku menari diatas awan… semester ini? Dari beberapa blok yang masuk kurikulum semester ini, aku mendapat 50% nilai B, padahal aku menargetkan 25% nilai B, dan sisanya harus A, agar IP-ku tetap di atas awan. Entah bagaimana takdir membawaku pada semester ini. Aku harus menelan nilai 79 dan 78 yang sedikit lagi aku bisa A! ya! A! Berbeda dengan semester sebelumnya, nilai 84 di ujian bukan hal yang aneh… Sudahlah, semester 6 aku harus membalasnya dengan 100% A! Bismillah!

Dampak dari semua kehilangan itu, sakitku kumat… daerah cervical posterior menjalar sampai oksipital, bahkan ke parietal, aku rasakan sakit sekali. Ini bukan sekali dua kali aku alami. Sakit sekali rasanya. Hingga hidup bersama sodium diclofenac bukanlah hal aneh bagiku. Aku anggap itu penyakit biasa, tapi mungkinkah itu berhubungan dengan hipotalamus? Aku rasa tidak! Tapi mengapa aku mengalami kekacauan di jalur hipotalamo-pituitary axis? Hingga dokter spesialis menyarankan aku untuk menjalani HRT (Hormon Replacement Therapy). Adakah yang salah dalam tubuhku? Bagaimana jika setelah HRT ini aku belum sembuh? “Coba saja dulu…”kata dokter. Benar! HRT sudah hampir selesai, tapi belum ada perubahan dari gejala 2 yang aku alami. Aku kembali ke dokter spesialis itu. “Hmm, belum sembuh ya? Kamu ini jangan terlalu stress! Kamu tau kan kalau faktor psikologis itu bisa mempengaruhi tubuh? Kamu ada masalah apa sih, dek? Kalau kamu begini terus, saya sarankan kamu cek lab dan USG atau pemeriksaan penunjang lain? Saya nggak mau hal ini membuat jantungmu memompa darah lebih kencang untuk mensuplai pembuluh darah di seluruh tubuhmu!” Aku diam. Diam beberapa detik. Dokter melihatku. Aku bicara, “Jangan, dok. Saya takut cek lab, saya takut di-USG. Saya yakin kok saya normal. Ini cuma faktor stress aja kan, dok?” Dokter mengangguk. “Kita coba saja dulu, dek. Kalo memang hasil lab normal, tetapi kamu masih menunjukkan gejala seperti ini, saya akan rujuk kamu ke psikiater, mungkin ini psikosomatis…”

“Saya tidak depresi, dok! Suer! Saya lebih takut sama psikiater daripada sama lab. Janganlah, dok. Saya yakin nggak sampai separah itu!”
“Kamu sebenarnya ada masalah apa?”
“Saya baik2 aja kok, dok. Saya nggak ada masalah apa2.”
* * *
Beberapa minggu setelah itu, aku sembuh. Sembuh total karena aku melupakan semua keresahan2ku dan beralih pada menulis sebuah buku yang aku kirimkan dan sekarang mungkin sedang dibaca oleh salah satu penerbit buku di Jogjakarta. Aku beralih pada hal2 yang lebih religious dan organisatoris, aku mulai memasang target untuk menjadi seorang hafidzah, aku semakin aktif liqo’, aku diangkat menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah,dll. Intinya, Aku melupakan kesedihan2ku . aku ingin membuktikan bahwa gejala2 yg aku tunjukkan beberapa minggu yang lau murni karena stress, bukan karena aku punya kelainan. Dan ternyata benar, aku sembuh!
* * *
Beberapa minggu setelah sembuh, aku kembali mencoba menjalin silaturahmi dengan orang2 yang menyakitiku itu. Aku diamanahi menyebar SMS taujih yang aku dapatkan dari FULDFK ke teman2 IMA angkatanku, termasuk Snt. Tapi balasan apa yang aku dapat, ia malah menghinaku dengan kata2 yang menyayat hati. Padahal aku tak bermaksud menyindirnya dengan SMS taujih itu. Itu aku kirimkan RATA ke teman2 IMA 2009, tapi dia sewot. Dia bilang (agak dicampur bahasa Bali, tapi ini aku translate), “Ya kalo gitu lu juga udahan dong online di fesbuk. Udahan dong nulis status atau note yang gak penting! Itu kan meanless banget.”
Idiiiiih! Itu orang kok gitu banget ya! Ya udahlah, emang gue pikirin! Orang tuanya sendiri aja nggak ngelarang dia buka jilbab dan tidur bareng sama cowoknya, ngapain gue repot? Sekali lagi, emang gue pikirin!
Kemudian, menyambung silaturahmi dengan R. Aku memang yang memulainya, aku bertanya, “Apakah fesbukmu habis dihack?” Karena aku lihat R nge-like page artis2 vietnam yang notabene-nya artis yang mengumbar auratnya dengan pakaian2 yang tidak senonoh! Aku yakin R dihack, karena sejauh yang aku kenal, R bukan pecinta ‘sex’ yang ‘terlalu’ seperti itu. Foto2 artis dengan adegan2 yang sangat tidak layak untuk dijadikan konsumsi public. Apa jawabab R? Ternyata DIA TIDAK DIHACK! Itu dia lakukan atas kesadarannya sendiri, bahkan dia mengatakan bahwa dia kagum dengan wanita2 itu, terlebih lagi dia bilang gadis itu manis! Naudzubillahi min dzalik! Dia berdalih menasihatiku untuk tidak melihat koin dari satu sisi saja, untuk tidak menjadi orang buta yang mendeskripsikan gajah… kami terlibat perdebatan yang cukup panjang. Ia menuduhku hanya mencari perhatiannya dengan perdebatan itu… uh! Sorry! Aku gak niat cari perhatian! Aku cuma ingin mengingatkan bahwa tindakannya itu tanpa ia sadari telah melecehkan perempuan, menikmati tubuh2 perempuan dalam pose telanjang dengan GRATIS! Itukah yang dinamakan menghormati wanita? Aku bersyukur, Allah telah menunjukkan padaku siapa R. Beruntung aku tak berlama2 menjalin hubungan dengannya. Yang aku sesalkan adalah, apa dia tidak berfikir jika dia nge-like page artis2 itu, nge-like foto2 ranjang itu, kemudian ada salah seorang teman yang secara iseng membuka wall-nya dan melihat recent activitiesnya ada “Like this page”, lalu temannya masuk ke page artis pengumbar aurat itu, dan punya mindset yg berbeda dengan R, lantas menyalahgunakan page itu untuk berfantasi ke hal2 yang tak seharusnya difantasikan, bagaimana? Lalu teman dari temannya R membuka wall temannya, dst. Itu akan menjadi mata rantai yang panjang, yang R pun tentu nanti akan terbawa dihisab. Aku tak mau itu terjadi pada R. Aku tak mau ia disalahkan oleh malaikat karena telah menjembatani teman2nya menuju hal yang tak baik. Aku ingin hal2 baik dan positif saja yang mendekatinya, yang menghiasi hidupnya. Jika bukan aku yang memang ditakdirkan untuk membuatnya bahagia, maka aku berharap alam semesta bisa mengalirkan energi positif padanya untuk menceriakan hari-harinya. Ya, aku ingin dia bahagia dengan cara yang benar, itu saja…

Psikologisku kembali diguncang oleh pernyataan yang menyakitkan dari R soal “aku cuma cari perhatian dia dari perdebatan itu”. Gejala gangguan hormonal itu kembali muncul dan besok aku akan menemui dokter spesialis lagi, mungkin aku harus menjalani HRT lagi… semoga saja tidak. Wallahualam…. 

Reqgi First Trasia

Komentar

Postingan Populer