ternyata dia kupu-kupu malam

Sewaktu aku hendak tidur siang, aku teringat salah seorang teman perempuan di Bali yang bernama Icha (disamarkan), dia seorang pekerja seks. Umurnya baru 16 tahun. Awalnya, mba-mba Rohis sedang membicarakan Icha. Aku Cuma dengar sekilas, aku bukan tipe orang yang suka nguping dan mau tahu urusan orang. Tiba-tiba mba F datangi aku, dia menanyakan apakah aku memunyai jilbab yang tidak terlalu lebar? Aku jawab, aku punya 2, karena jilbabku yang lain tergolong lebar. Aku berikan 1 jilbab pada mba F.
“untuk siapa, mba?” tanyaku
“untuk Icha, teman mba…” jawabnya.
Aku tak ingin bertanya lebih jauh, kawan. Hampir seminggu berlalu, aku baru tahu, ternyata Icha tinggal di kos mba F. saat itu aku belum tahu siapa Icha sebenarnya. Mba Y yang menceritakan padaku tentangnya. Hingga sampai suatu saat dimana mba F harus co.ass dan mba Y berangkat kuliah. Waktu itu aku belum mulai kuliah, kawan. Masih dalam masa-masa “pembantaian” oleh senior-senior Fakultas Kedokteran. Mba-mba itu menitipkan Icha, si bocah 16 tahun itu, untuk kujaga. Dari situ kami mulai percakapan.
Sambil kumintai tolong menjahit motif hijau polkadot pada jilbab sesuai yang diinstruksikan senior, Icha bercerita mengenai dirinya, kawan. Aku tahu dia tidak menceritakan semua hidupnya secara detail pada mba-mba yang lain, hanya aku yang mungkin ia percaya. Icha menceritakan semua itu dengan lugas, kawan. Tanpa canggung. Dia mulai bercerita…
Dia adalah seorang PSK yang dikejar-kejar polisi karena kedapatan membawa narkoba, entah jenis apa. Dia mengaku padaku bahwa barang itu bukan miliknya, itu adalah milik seorang ‘pelanggan’ yang baru dilayaninya. Pelanggan itu sepertinya sengaja melempar narkoba ke Icha agar tidak dituduh polisi sebagai pemakai. Jadilah Icha yang menanggung kesalahan pelanggannya. Begitulah nasib kupu-kupu malam, kawan. Harus melayani pelanggannya, termasuk menaggung kesalahan pelangan. Icha berhasil kabur, kawan. Tapi semenjak itu ia menjadi buronan. Ia lari kesana kemari tanpa tujuan, yang penting tidak tertangkap, begitu pikirnya. Dia pun dikejar-kejar oleh mucikarinya (germo) karena dari Icha-lah si germo itu mendapatkan uang banyak. Ya, Icha adalah salah satu PSK yang mahal di Bali.
Icha lari hingga bertemu dengan seseorang bernama Ad. Karena tahu Ad adalah orang baik-baik, Icha memohon pada Ad untuk melindunginya sampai polisi menghapus Icha dari daftar buronan. Ad mungkin berfikir, tidak mungkin dia mengajak seorang PSK sekaligus buronan polisi dan mucikari untuk tinggal di rumahnya. Tapi mendengar semua cerita Icha, Ad benar-benar ingin membantu Icha. Akhirnya, entah mendapat ide dari mana (yang pasti dari Sang Raja Manusia), Ad mengantar Icha ke rumah Am karena Am adalah wanita muslim yang cukup baik. Jilbab mba Am panjang dan dia adalah mahasiswi fakultas sastra yang baru menyelesaikan skripsinya.
Mba Am, sama seperti Ad, juga ingin menolong Icha, tapi dia tidak mungkin mengajak Icha tinggal di rumahnya karena masih ada keluarga Am disana. Akhirnya, mba Am meminta tolong mba F untuk mau menjaga amanah dari Ad. Mba F menerima amanah itu. Mba F mengajak Icha tinggal di kosanya, dengan tempat tidur terpisah dan member Icha makan.
Icha orang daerah Malang, kawan. Dia bisa sampai di Bali kira-kita setahun yang lalu, dibawa oleh kakak kandungnya yang sinting itu. Keluarga Icha berantakan, kawan. Ortunya bercerai, gak peduli lagi pada anak-anaknya, kakaknya yang sinting itulah yang mengajari Icha merokok dan minum minuman keras. Kakak keparat!
Icha dulu sekolah di SMA Kristen di Malang, tapi dia putus sekolah karena ikut kakaknya menjadi waitress di Bali. Di situlah dia mulai mengenal daerah Kuta, sarang prostitusi dan clubbing (kata orang). Kuta memang terkenal dengan sunset yang beautiful and romantic, tapi disitulah sarang kebiadaban hidup. Saat menjadi waitress, dia didatangi oleh mucikari dan Icha menerima tawaran mucikari tiu tanpa pikir panjang. Icha butuh uang untuk hidup. Pekerjaannnya sebagai waitress hanya cukup untuk bayar kos dan makan sehari-hari, sementara dia juga butuh pakaian, pulsa, peralatan mandi dan kosmetik. Sebetulnya, kakak Icha bisa memenuhi kebutuhan sekundernya, tapi si kakak menghilang entah kemana. Mungkin kakaknya ingin menikmati hidup sendiri atau mungkin juga sudah tertangkap dan mendekam di penjara. Icha sendiri sudah gak peduli dengan kakaknya, ia benci pada kakak yang menceburkannya ke dalam dunia gelap ini. Dan pikirnya, sudah terlanjur basah, jadi nyemplung aja sekalian.
Keperawanan Icha saat itu dihargai 1,7juta rupiah. Cuma segitu! Tapi Icha bangga, kawaan. Katanya, jika dibandingkan dengan perawan lain yang hanya dihargai 700ribu. Setelah keperawanan Icha hilang, harga Icha semalam menjadi 1 – 1,5 juta rupiah. Icha menceritakan bagaimana dunia prodtitusi itu, kawan. Ada pelanggan yang baik, kasar, lembut, bahkan sinting. Ada pelanggannya yang pernah menyuruh Icha telanjang bulat lalu menjilati tubuh Icha dari ujung kaki sampai ujung rambut! Ingin muntah rasanya aku mendengar itu, kawan!

Ada beberapa pelanggan yang mengadu bahwa ‘main’ sama Icha, seperti main sama mayat karena Icha tidak pernah membalas rangsangan yang diberikan pelanggan. Kamu tahu kenapa, kawan? Karena Icha adalah seorang lesbian. Ya! Lesbian. Tapi Icha menenangkan aku, katanya dia gak akan ngapa-ngapain aku karena dia tahu aku normal. Dia tahu seluk beluk prostitusi, kawan. Dia tahu perbedaan antara perawan dan bukan perawan. Dia tahu bagian tubuh wanita ini itu sudah pernah “disentuh” atau belum. Dia bilang,” Mba dokter belum pernah ciuman kan?” (entah kenapa dia panggil aku ‘mba dokter’)
“Ah, sok tahu kamu…” jawabku.
“Kelihatan kok… bibirnya masih merah, masih segar, masih… (aku lupa)… Mba dokter juga gak pernah gandengan tangan sama cowok?”
“Heh, anak kecil… tanganku ini sudah pernah salaman sama cowok dari Sabang sampai Merauke tau!”
Dia tersenyum,”Dan kalau Icha lihat, mba dokter ini ciri-ciri orang yang *** kalau di ranjang”
“Heh, bocah… udahlah… bosen tau! Geli! Pengen muntah! Ayo, aku traktir kamu makan… katanya kamu pengen bakso…”
Aku ajak dia jalan cari bakso, kawan. Entah mengapa aku tidak takut jalan bareng Icha di Denpasar, padahal bukan mustahil kalau tiba-tiba polisi datang menangkap Icha dan pastinya menangkap aku untuk dimintai keterangan. Entah mengapa aku tak ada rasa takut. Sepanjang jalan dia tertawa! Menertawakan aku! Dia heran mengapa masih ada cewek 18 tahun yang belum pernah ciuman, bahkan belum pernah pegangan tangan!
Tapi aku gak malu ditertawakan seperti itu. Justru aku merasa bangga pada diriku sendiri. Itu artinya aku masih bisa menjaga tangan dan bibir ini dari syaitan (Amin…). Dan ini semua hanya untuk suamiku seorang kelak!
Kawan, siapa yang menyangka aku pernah berteman dengan seorang pekerja seks? Padahal pergaulanku selam ini adalah jilbabbers. Mungkin ini sudah takdir Sang Pelukis. Beberapa hari kemudian, aku dengar ada donator muslim di Bali yang cukup kaya raya. Dia angkat Icha sebagai anaknya. Dari situ, aku dan mba-mba yang lain tenang karena insyaAllah Icha berada di tangan yang tepat. Hikmah apa yang bisa kalian ambil dari pengalamanku soal Icha, kawan?

Reqgi First Trasia
February 2010
Mencoba untuk lebih REALISTIS, tanpa sedikitpun mengurangi rasa OPTIMIS, dan tidak ingin sukses dengan cara yang PRAKTIS…

Komentar

Bayu Wicaksono mengatakan…
Subhanalloh...

Kapan ya bisa mendapat pengalaman seindah itu,,,

Seindah apapun rencana kita.. Jauh Lebih Indah Rencana Alloh...
Reqgi First Trasia mengatakan…
hehe... iya, kak Bayu... rencana Allah jauh lebih indah... :)

Postingan Populer