kehilangan akal sehat

sebetulnya, ini tugas kuliah... disuruh menulis pengalaman kami mengenai simpati dan empati...

Jatuh cinta berarti menyerahkan diri pada kebodohan! Itulah yang dapat aku simpulkan dari kisah kawanku, sebut saja Mawar. Dia kawan kecilku saat aku masih di Surabaya. Wajahnya cantik, kulitnya kuning langsat. Lebaran kemarin aku rayakan di Surabaya karena memang di sanalah keluarga besarku berada. Aku turun di stasiun Pasar Turi Surabaya. Aku sewa taksi untuk menuju rumah orang tuaku. Di jalan, aku melewati patung Sura dan Baya di depan kebun binatang yang konon patung itu menceritakan asal mula nama Surabaya. Banyak sekali perubahan yang aku temukan di kota kelahiranku ini, kota pahlawan ini. Taksi memasuki komplek perumahanku. Aku harus melewati rumah Mawar untuk dapat menuju rumahku.
Tepat di depan rumah Mawar, ada yang menyapaku. “Reqgi!”. Aku tengok ke arah sumber suara, ternyata Mawar yang menyapaku, aku masih hafal benar suaranya. Sekalipun dulu aku tidak terlalu dekat dengannya, tapi aku masih mengenal suaranya. Aku balas sapaannya,”Iya, mba Mawar…”. Aku tersenyum padanya. Namun, dia tidak membalas senyumku. Tatapannya hampa, matanya entah tertuju ke mana. Aku berpikir positif, mungkin saja dia tidak melihat senyumku dari dalam taksi. Memang, kata orang bibirku terlalu tipis, jadi sulit bagi sebagian orang untuk melihat aku tersenyum atau tidak, harus dari lima atau enam meter, orang pasti mengatakan senyumku manis. Aku sampai di depan rumah orang tuaku.
Aku bersalaman dengan kakekku, omku, tanteku dan anggota keluarga lainnya. Aku bertanya pada kakek, mengapa mba Mawar tidak membalas senyumku dan mengapa tatapan matanya hampa, seperti tidak ada siapa-siapa didepannya, tapi mengapa dia bisa menyapaku. Kakek menjelaskan detil ceritanya. Tersentak hati ini rasanya mendengar Mawar ternyata sudah hilang akal. Ya! Hilang akal! Kasarnya mungkin, gila! Sinting! Tuhan…… Mengapa hanya karena persoalan cinta, Kau buat hambaMu jadi seperti Mawar…
Keesokan harinya, ibu menyuruhku membeli gula di warung yang tempatnya cukup dekat, hanya saja untuk dapat mencapainya, aku harus melewati rumah mba Mawar. Antara berani dan ngeri melewati rumah itu. Maklum, semenjak mba Mawar hilang akal, semua orang takut melewati jalan depan rumahnya, termasuk aku. Kata kakek, pernah suatu saat ada seorang warga yang melewati rumah itu dan kemudian mba Mawar keluar secara tiba-tiba, mengagetkan orang tersebut. Spontan, orang itu lari terbirit-birit. Pernah juga Mawar keluar dari rumah membawa batu yang cukup besar dan dilemparkan ke mobil tetangga depan rumahnya. Walaupun kaca mobil tidak pecah, bemper mobil tetangga depan rumahnya itu menjadi penyok, tak karuan bentuknya. Si pemilik mobil marah dan meminta ganti rugi pada keluarga mba Mawar. Terpaksa kakak semata wayang mba Mawar yang menanggung biaya ganti rugi mobil itu.
Aku masih merasa takut melewati rumahnya. Dari dalam ibu sudah menyuruhku untuk segera membeli gula, tetapi aku tak kunjung berangkat. Aku putuskan untuk tidak berjalan kaki, melainkan mengendarai sepeda. Aku teringat kembali pada cerita kakek. Pernah juga ada warga dari RT lain, karena warga RT-ku sudah tidak ada yang berani melewati rumah yang dianggap angker itu, yang bersepeda melewati rumah mba Mawar. Tanpa disangka mba Mawar keluar dari rumah dan menghentikan laju sepeda itu dengan segala kekuatan orang yang kurang waras. Mba Mawar meminta pegendara sepeda untuk mengantarnya keliling komplek. Terpaksa orang tersebut menuruti permintaan mba Mawar karena dia mengancam akan memukulkan batu yang ada di genggamannya ke kepala orang itu jika menolak. Dengan hati yang dag dig dug orang itu mengantar mba Mawar keliling komplek sampai Mawar puas.
Tetangga samping rumahku melihatku khawatir sekali dengan sepeda yang ku bawa. Tetanggaku menyarankan aku untuk memutar arah mengitari komplek sebelah agar aku merasa aman dalam membeli gula titipan ibu, pemutaran arah mengitari komplek sebelah juga dilakukan oleh tetangga-tetanggaku yang lain untuk dapat mencapai warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Sedikit menguras tenaga memang, tapi setidaknya ini lebih baik. Aku turuti anjuran tetanggaku. Setelah aku mendapatkan gula pesanan ibu, aku kembali mengayuh sepeda. Di jalan, aku tidak bisa melepaskan pikiranku akan mba Mawar. Tiba-tiba muncul ide konyol dalam kepalaku. Aku ingin kembali ke rumah dengan melewati depan rumah mba Mawar. Aku nekat, maklum keturunan bonek (bondo nekat).
Saat hampir mendekati rumah mba Mawar, aku teringat kembali cerita kakek. Mba Mawar pernah keluar dari rumah sambil mengenakan pakaian renang. Dia berjalan mengitari RT-ku, setiap rumah dia ketuk pintunya. Jelas, tidak ada yang mau membukakan pintu untuknya, apalagi dengan pakaian renang seperti itu. Saat itu, kakek tertidur di kamar dan pintu ruang tamu lupa dikunci. Alhasil, mba Mawar dapat dengan mudah masuk ke rumah kakek dan mengambil semua uang receh kakek yang terletak di meja ruang tamu. Mba Mawar berjalan ke dapur rumah kakek dan memakan apa saja yang ditemuinya. Setelah puas menggeledah rumah kakek, dia keluar untuk menggedor pintu tetangga lainnya. Saat kakek terbangun dari tidur, barulah kakek sadar bahwa rumahnya berantakan. Tidak ada barang berharga yang hilang memang, hanya uang receh yang sengaja disiapkan untuk para pengamen saja yang dibabat habis oleh Mawar. Dia memang sudah kehilangan akal.
Aku melewati depan rumah mba Mawar. Ternyata benar, mba Mawar mencegahku untuk mengayuh sepeda, hanya saja tidak terlalu menyeramkan seperti yang diceritakan kakek. Mba Mawar, dari tatapan matanya padaku, seolah-olah menyuruhku untuk tetap tinggal, mendengarkan keluh kesahnya. Aku tidak merasa takut. Aku katakana pada mba Mawar bahwa aku harus mengantarkan gula pesanan ibu, baru aku kembali menemuinya. Dia tidak keberatan, tapi aku harus meninggalkan sepedaku di rumahnya sebagai semacam jaminan bahwa aku pasti kembali menemuinya.
Aku berikan gula pada ibu dan aku kembali menemui mba Mawar. Dia menyuruhku duduk di teras rumahnya. Dia memberikanku ijazah SMA miliknya dan menyuruhku membakar ijazah itu. Saat aku Tanya apa alasannya menyuruhku berbuat demikian dan mengapa tidak dilakukannya sendiri, dia hanya menjawab bahwa dia merasa hidupnya tidak ada guna lagi semenjak kepergian mantan pacarnya bersama wanita yang tidak lain tidak bukan adalah Sasa, tetangga RT ini juga. Sasa seumuran denganku. Memang Sasa lebih mungil dan lebih imut-imut jika dibandingan mba Mawar, tapi tidak selayaknya mantan mba Mawar mengabaikan mba Mawar hingga seperti itu.
Aku berkata pada mba Mawar bahwa aku bersedia membakar ijazah miliknya di rumahku dengan alasan aku ingin mengambil korek api. Mba Mawar memasrahkan ijazahnya padaku. Di rumah, aku simpan ijazah itu di rak kecil. Aku kembali menemui mba Mawar dan mengatakan padanya bahwa ijazahnya sudah habis kubakar. Dia menangis. Dia menceritakan kesakitan hatinya. Aku bisa merasakan betapa perihnya melihat kekasih kita meninggalkan kita dengan sia-sia seperti seolah tidak menganggap kita ada. Aku bisa membayangkan bagaimana menjadi mentari yang dianggap tidak bisa memberikan kehangatan bagi alam semesta. Aku bisa membayangkan bagaimana menjadi bulan yang dianggap tidak bisa menerangi malam. Aku pun bisa membayangkan bagaimana menjadi bintang yang dianggap hilang di tengah kegelapan.
Berdasarkan pelajaran yang aku dapat dari Medical Communication, aku melakukan anamnesa dengan cukup baik. Aku berhasil menggali semua informasi yang aku ingin tahu. Aku berhasil memancingnya untuk menceritakan lebih dalam apa yang dirasakannya. Di akhir pembicaraan singkat kami, aku hanya bisa mengatakan pada mba Mawar seperti ini:
Mba, aku juga pernah merasakan putus cinta. Tapi mba lihat, aku masih hidup normal. Kami putus karena dia terlalu easy going pada semua wanita dan aku terlalu pencemburu. Memang masalah yang aku hadapi tidak lebih pelik dari masalah mba. Walaupun begitu, maksud saya walaupun saya jomblo, saya masih tetap sehat. Saya tahu, mungkin perasaan mba ke mantan mba itu sangat besar, tapi asal mba tahu bahwa perasaan saya ke mantan saya juga tidak kalah besar, mba.
Tanpa dia (mantan saya), dua patung Ganesha masih tetap kokoh di depan Fakultas Kedokteran.
Tanpa dia, ribuan burung masih tetap menghiasi pepohonan RSUP Sanglah.
Tanpa dia, matahari masih diterbitkan di Pantai Sanur dan ditenggelamkan di Pantai Kuta.
Tanpa dia, wangi dupa dan kamboja masih semerbak di tanah Bali.
Lalu apa bedanya, ada atau tanpa dia? Tak ada bedanya. Semua masih berjalan normal. Tanpa dia, dunia belum kiamat. Just go on your life, mba!
Entah dari mana keajaiban kata-kataku itu. Yang jelas, seminggu setelah itu aku mendengar mba Mawar meminta maaf pada orang-orang yang dibuatnya kesal. Dia mulai menlanjutkan hidupnya. Dia berjualan es dirumahnya. Banyak orang senang dengan es buatannya, entah dari segi apa. Orang tua mba Mawar senang dengan perubahan anaknya. Mereka tidak jadi memasukkan mba Mawar ke RSJ Menur Surabaya. Alhamdulillah…

Reqgi First Trasia
9 Maret 2010
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Medical Professionalism (Empathy and Sympathy)

Mencoba untuk lebih REALISTIS, tanpa sedikitpun mengurangi rasa OPTIMIS, dan tidak ingin sukses dengan cara yang PRAKTIS…
Denpasar, Bali

Komentar

Kertas Putih mengatakan…
really like this one, miss reqgi!!!

kalo ak ga baca tulisan kamu ini, bisa2 ak kaya mba mawar klo (amit2) putus sama si *anu. hehehehehe:P
Reqgi First Trasia mengatakan…
hahaha... nier... nier... kalo kamu sama si anu sih insyaAllah langgeng... ta bantu doa wess... :D

Postingan Populer