harga mati sebuah idealisme

HARGA MATI SEBUAH IDEALISME = MIMPI

Hari ini aku bangun dari tidur yang nyenyak, sebuah kegiatan yang memang ‘digemari’ banyak orang, tapi dari sisi medis, tidur ini sangat baik untuk tubuh. Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan segera mengambil air wudhu untuk shalat subuh. Hari ini juga adalah hari pendaftaran terakhir PMDK UNS. Aku berangkat ke sekolah dengan membawa uang Rp 190.000,00 dari ibu untuk pendaftaran PMDK UNS. Uang yang sebenarnya digunakan untuk makan sehari-hari, tapi malah aku gunakan untuk ‘gambling’. Alhasil, beberapa hari kedepan, adik-adikku menahan lapar karena keegoisanku. Aku menuliskan Pendidikan Dokter sebagai pilihanku pada formulir pendaftaran.
Dua hari berikutnya adalah hari pendaftaran SIMAK UI. Ibu harus mengeluarkan uang lagi sebesar Rp 200.000,00 untuk ‘gambling kedua’ ini. Dan lagi, adik-adikku harus menahan lapar untuk beberapa hari ke depan. Ayah mengantarkanku untuk survey lokasi tes yang letaknya di bilangan Jakarta Selatan. Siang hari, dibawah sengat sang mentari, ayah dengan sepeda motor satu-satunya dengan rela menemaniku berjuang. Sembari menunggu pengumuman PMDK UNS, aku ikhtiar untuk SIMAK UI yang akan dilaksanakan bulan depan. Dalam ikhtiar itu, ibu selalu menemani aku tiap ashar untuk mengaji, menyiapkan makan selepas maghrib, menemani ngobrol setelah isya’, menyiapkan sarapan sebelum waktu subuh tiba dan makan siang setelah dzuhur, tapi yang paling penting dan perlu digarisbawahi juga tertanam kuat dalam memoriku adalah ibu menyiapkan segelas susu dan pisang goreng sesudah shalat tahajud. Aku yakin bahwa hanya ada satu ibu di dunia ini yang selalu ‘online’ dalam menemani anak-anaknya 24 jam dari subuh sampai subuh lagi.
28 Februari 2009, tanggal diumumkannya hasil PMDK UNS dan hasilnya adalah ‘gagal’ (baca : belum jalannya). Sedikit kecewa, tapi ibu bilang aku tidak boleh larut dalam kekecewaan karena 1 Maret aku harus mengerjakan soal-soal SIMAK UI. Aku tetap mengambil Pendidikan Dokter, maklum, ini adalah harga mati sebuah idealism. Tepat di hari tes, ayah bangun subuh-subuh dengan semangat untuk mengantarkan anaknya menuju lokasi tes. Harus berangkat subuh karena ‘macet’ bukan kata yang aneh di Jakarta. Aku berangkat diiringi dengan pelukan ibu dan doa yang terus mengalir dalam setiap ucapannya.
Sembari menunggu pengumuman SIMAK UI, aku mendaftar PMDK Universitas Brawijaya. Ibu harus mengeluarkan uang Rp 175.000,00 untuk ‘gambling ketiga’ ini. Empat hari berikutnya adalah hari pendaftaran UM UNDIP. Keluar uang lagi sebesar Rp 175.000,00. Lagi-lagi, adik-adikku harus menahan lapar untuk beberapa hari ke depan. Ayah mengantarkanku lagi untuk pendaftaran sekaligus survey lokasi tes yang letaknya di bilangan Jakarta Selatan, tapi di tempat yang berbeda dengan tes SIMAK UI. Siang bolong, dibawah ganasnya sang surya, ayah yang kulit kakinya hampir terbakar karena memang matahari kala itu sangat tidak bersahabat, tetap rela menemaniku berjuang. Bahkan, setelah keliling Jakarta dan hendak pulang, sepeda motor yang kami tumpangi bocor bannya di sekitar Kalideres. Alhasil, kami menuntunnya sampai dapat tempat tambal ban, kira-kira 1 km, tapi ayah tidak mengeluh. Ayah menguras semua isi dompetnya untuk mengganti ban, maklum, hanya ada uang Rp 20.000,00 dalam dompetnya.
1 April 2009, tanggal diumumkannya hasil SIMAK UI dan hasilnya adalah ‘gagal’ (baca: belum jalanya). Sedikit kecewa, tapi ibu bilang lagi bahwa aku tidak boleh larut dalam kekecewaan karena aku harus menyiapkan mental untuk menghadapi pengumuman PMDK Universitas Brawijaya lima hari berikutnya. Aku tetap mengambil Pendidikan Dokter, maklum, ini adalah harga mati sebuah idealism. Sembari menunggu lima hari ke depan, aku ikhtiar untuk UM UNDIP yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Dalam ikhtiar itu, ibu tidak pernah absen dalam memotivasiku, menularkan semangatnya dan mengalirkan kesabarannya dalam darahku, dalam nadi yang selalu berdetak setiap detiknya.
6 April 2009, tanggal diumumkannya hasil PMDK Universitas Brawijaya dan hasilnya adalah ‘gagal’ (baca: belum jalanku). Sedikit kecewa , tapi lagi-lagi ibu bilang aku tidak boleh larut dalam kekecewaan karena satu minggu lagi aku harus mengerjakan soal-soal UM UNDIP. Sambil ikhtiar, aku mendaftar UM UGM. Ibu harus mengeluarkan uang Rp 175.000,00 untuk registrasi, tapi Alhamdulillah kali ini adik-adikku tidak perlu menahan lapar untuk beberapa hari ke depan karena ayah sudah dapat callingan Air Mata Cinta. Tepat di hari tes UM UNDIP, ayah bangun subuh-subuh dengan tetap semangat untuk mengantarkan anaknya menuju lokasi tes. Aku berangkat diiringi dengan pelukan ibu dan doa yang terus mengalir dalam setiap ucapannya.
Sembari menunggu pengumuman UM UNDIP, aku mendaftar PMDK Prestasi UNAIR. Universitas impianku, aku menaruh harapan besar di UNAIR. Aku tetap mengambil Pendidikan Dokter, maklum, ini adalah harga mati sebuah idealism. ibu harus mengeluarkan uang sebesar Rp 300.000,00 untuk pendaftaran UNAIR ini, juga transport pulang pergi Jakarta-Surabaya sebesar Rp 100.000,00. Aku sengaja memilih kereta api kelas ekonomi (kelas 3) karena harus ngirit. Sinetron Air Mata Cinta kabarnya akan segera diputus oleh RCTI, padahal baru sebulan kami bias sedikit bernafas, tapi kami tetap bersyukur. Ibu selalu mengingatkanku bahwa kalau kita bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat kita
5 Mei 2009, tanggal diumumkannya hasil UM UNDIP dan hasilnya adalah ‘gagal’ (baca : belum jalanku). Sedikit kecewa, tapi untuk kesekian kalinya ibu bilang aku tidak boleh larut dalam kekecewaan karena tiga minggu lagi aku harus mengerjakan soal-soal UM UGM. Sehari sebelum tes, ada seseorang yang berusaha mematahkan semangatku. Dia bilang bahwa sukses tidak harus menjadi seorang dokter dan berjuta-juta alas an lain yang aku masukkan kuping kanan dan langsung aku keluarkan dari kuping kiri. Hanya keluargaku yang tidak pernah menyarankanku untuk menyerah, ibu bilang, terkadang kita harus menjadi seorang yang tuli untuk sementara waktu agar kita tidak mendengar selentingan-selentingan bejat. Tepat pada hari tes UM UGM, beruntunglah aku karena ada seorang teman yang menawarkan diri untuk berangkat bersama menuju lokasi tes, walaupun pulangnya aku harus berpanas-panas ria untuk menunggu angkot yang harus aku tumpangi untuk kembali ke Tangerang. Aku tidak tahu daerah itu dan aku melakukan banyak spekulasi dari menumpangi satu angkot ke angkot lainnya.
Hmmm… sudah sepanjang ini kisahku, tapi aku belum memperkenalkan siapa aku. Aku Zenia, seorang siswi SMU ternama yang mempunyai dua orang adik yang gokil. Aku seorang muslim yang selalu mengulurkan jilbabku. Sampai kapanpun aku tidak akan melepas jilbabku karena ini adalah harga mati sebuah idealism. Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang humoris. Aku orang yang sangat emosional dan ambisius, tapi aku tetap realistis. Aku senang menulis dan membaca. Aku juga seorang nasionalis yang bertekad meneruskan semangat juang Soekarno. Dimata adikku yang kedua, aku adalah seorang kakak yang jahat, kejam, bengis, sama seperti bakteri dan kuman. Dimata adikku yang ketiga, aku adalah seorang nenek sihir yang sewaktu-waktu bias berubah menjadi monster yang suatu saat siap menyantapnya. Tapi dibalik persepsi mereka, aku tahu bahwa mereka sangat menyayangi aku.
Baiklah, aku lanjutkan kisahku. Sembari menunggu hasil UM UGM, aku ikhtiar untuk PMDK Prestasi UNAIR. Ibu sangat mendukungku karena jika aku dapat UNAIR, itu berarti aku satu almamater dengannya. Ibuku adalah seorang sarjana sastra yang mengabdikan dirinya untuk melahirkan, membesarkan dan mendidik calon-calon dokter. Dan ayahku, walaupun dia bukan seorang akademisi dan dia juga emosional sepertiku, tapi aku yakin, terselip doa-doa dalam setiap kemarahannya.
5 Juni 2009, tanggal diumumkannya hasil UM UGM dan hasilnya adalah ‘gagal’ (baca: belum jalanku). Sedikit kecewa, tapi entah yang keberapa kalinya ibu bilang bahwa aku tidak boleh larut dalam kekecewaan karena keesokan harinya mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus berangkat ke Surabaya untuk PMDK Prestasi UNAIR. Dalam keadaan yang serba terbatas karena Air Mata Cinta benar-benar diputus, ibu mengantarkanku ke stasiun. Di stasiun, ibu memelukku dan mengatakan bahwa harapan itu masih ada dan akan selalu ada. Orang yang punya harapan adalah orang yang punya segalanya.
Singkat cerita, aku kembali ‘gagal’ (baca: belum jalanku) dalam PMDK Prestasi UNAIR sehingga aku harus kembali pulang ke Tangerang dengan masih membawa sejuta pengalaman berharga dan harapan-harapan yang menyertaiku. Aku mendaftar lagi PMDK Umum UNAIR, tapi kali ini aku menekan sedikit idealismeku, aku mengambil Farmasi dan Kesehatan Masyarakat. Tes untuk PMDK Umum UNAIR sama susahnya dengan PMDK Prestasi, tapi kali ini aku sedikit merendahkan pilihanku, bukan karena aku menyerah, tapi karena aku menuruti saran ibu untuk memiliki cadangan sebelum akhirnya bertempur di SNMPTN. Dan aku diterima oleh UNAIR dengan biaya yang cukup mahal, tapi ini membuat hatiku sedikit tenang untuk menghadapi SNMPTN, jalur asli dimana panitia tidak menilai aspek lain, kecuali ketepatan menjawab soal, itu saja.
Aku memutuskan untuk mengikuti SNMPTN di regional III dengan pilihan yang ditentukan oleh ibuku, UNS dan UDAYANA. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku nama UDAYANA, tapi kata ibu yang penting lulus dulu masuk kedokteran dan aku menurutinya. Toh aku kembali ke tujuan awalku, apapun universitasnya, FK fakultasnya. Hari pertama SNMPTN aku masih sedikit tenang pada bagian TPAnya, tapi begitu kemampuan dasar, aku sedikit kaget karena soalnya cukup jauh dari prediksi, tapi aku tawakaltu alallah. Hari kedua SNMPTN aku kaget setengah hidup, biologi yang aku jadikan target operasi pertama, soal-soalnya justru membuat aku ragu untuk melanjutkan ke target operasi kedua, kimia. Di kimia ini, aku sangat santai, tapi begitu masuk ke target operasi ketiga, matematika IPA, aku kembali ragu, apalagi saat masuk target operasi keempat, fisika, sama sekali gak ada yang bisa aku jawab, akhirnya aku pilih jawaban by feeling. Sekitar 10 atau 15 menit sebelum bel berakhir, sekujur tubuhku keringat dingin, entah apa yang aku rasakan, saat itu aku hanya istighfar dan mengucap kalimat-kalimat pujian pada Allah.
1 Agustus 2009, hari diumumkannya hasil SNMPTN dan hasilnya adalah aku diterima di Pendidikan Dokter Universitas Udayana. Aku melihatnya bersama ibuku lewat internet setelah salah seorang temanku mengabarkan bahwa hasil SNMPTN sudah keluar. Terpancar wajah kegembiraan di wajah ibuku dan aku langsung menelephone ayah yang sedang berada di lokasi shooting ‘Cinta dan Anugrah’. Benar-benar, dengan CINTA ibu, ayah dan adik-adikku, aku bias mendapatkan ANUGRAH yang besar dari Allah swt. Setelah itu, keesokan paginya aku langsung berangkat ke Surabaya dengan tetap menggunakan jasa kereta api ekonomi. Sesampainya di Surabaya, ternyata ujian Allah belum selesai sampai disini, tapi……………………….
Aku terbangun dari tidur panjangku. Aku baru sadar kalau semua itu hanya bunga tidurku. Nyatanya, aku adalah benar Zenia, tapi seorang siswi SMP ternama di Kota Tangerang, bukan SMU. Tadi aku bermimpi tentang masa depanku, akankah 4 atau 5 tahun ke depan aku akan mengalami hal-hal detail seperti dalam mimpiku? Wallahu alam.

Reqgi First Trasia
19 October 2009
Sebuah kamar senyap tanpa suara berisik yang sangat kurindukan
Denpasar, Bali
Mencoba untuk lebih REALISTIS, tanpa sedikitpun mengurangi rasa OPTIMIS, dan tidak ingin sukses dengan cara yang PRAKTIS…

Komentar

dita mengatakan…
Assalamualaikum..wrwb
Kak..boleh tahu tips dan trik biar lulus snmptn??kemarin sempat gagal waktu mau masuk FK unud..tahun besok rencananya mau ikut tes snmptn lagi ke sana dgn prodi yg sama..
Mohon Bantuannya..saya jg ingin kul di sana demi orang tua saya..
Reqgi First Trasia mengatakan…
wa'alaikumslam...
salam kenal buat dita...
tips? trik? waduuuh, aku sih waktu itu cuma sabar... sabar... dan sabar... ya tanpa berhenti berusaha... dan yg paling penting adalah tawakal... kembalikan semua ke Allah, Ia lebih tau apa yg terbaik buat kita...

kalo mau ikut lagi, ikut aja! kejar terus! jangan pernah lepas dari yg namanya buku dan doa... insyaAllah kamu bisa... :)

semangat, sist!

Postingan Populer