Romantisme Ukhuwah Diantara Dua Benua, Selat Bosphorus
Romantisme Ukhuwah Diantara Dua Benua, Selat Bosphorus
Hari 1
Aku tiba di Bandara Attaturk. Ingin sekali memberi kabar
pada keluarga di Indonesia bahwa aku “arrived in Istanbul safely”. Tapi karena
kurang persiapan, aku lupa mendaftarkan nomor Indosatku untuk bisa komunikasi
luar negeri. Mas Faisol (FK UGM 08) begitu baik meminjamiku hapenya agar aku
kirim SMS ke keluarga.
Ternyata jarak untuk pengambilan bagasi cukup jauh. Setelah
bertemu tempatnya pun harus menunggu lama. Setelah barang2 kami lengkap, kami
mencari counter Malaysia Airlines untuk menukar tiketku dari tanggal 14 menjadi
tanggal 16, tapi ternyata tidak bisa. Awalnya sedikit kecewa karena aku harus
kehilangan satu hari untuk kegiatan FIMA, tapi tak apa, karena ternyata banyak
sekali hikmah yang aku temui nanti ketika harus pulang tanggal 14. Terimakasih
buat Mas Faisol yang memesankan tiket kepulangan tanggal 14.
Saat keluar dari terminal kedatangan, aku bertemu dengan
Hande, gadis Turki yang super elok. Ia menjemputku dan beberapa teman dari
Egypt dan Uganda. Setelah komplit, kami (aku dan teman2 akhwat) dibawa menuju
bus, sementara Mas Faisol masih stay di bandara untuk menungga Bang Aan yang
masih dalam perjalanan.
Sesampainya di dormitory, aku mandi. Teman2 di dorm
mengajakku ke Grand Bazar untuk membeli merchandise. Mereka mampir dulu ke dorm
ikhwan karena brothers mereka juga ingin shopping. Aku juga sebenarnya ingin
pergi rame-rame dengan Mas Faisol dan Bang Aan seperti teman2 dari negara lain
yang begitu terlihat solid, tapi Abang dan Masku itu belum sampai di dorm,
masih di bandara.
Ada yang aneh disini, aku bertemu dengan delegasi Indonesia
yang lain. Bassam namanya, ia dari Universitas Yarsi. Aku betul2 heran mengapa
hal ini bisa terjadi karena setahuku hanya ada 3 orang dari Indonesia. Apa
hanya karena Yarsi adalah penyelenggara FIMA Camp tahun lalu? Ataukah ada
“golden ticket” yang mereka dapatkan? Lebih kasar lagi mungkin apakah ada
nepotisme dibalik itu? Ah, sudahlah, tak boleh terlalu suudzan.
Sebelum ke Grand Bazar, kami mampir dulu untuk lunch di
dekat Masjid Suleymani. Ini adalah masjid terbesar di Istanbul. Menu lunchnya Fava beans, salad, dan Ayran.
Harganya sekitar 6 Turkish-lira, kalau dikonversi ke rupiah jadi sekitar Rp
36.000. Aku kurang cocok dengan menu itu, tapi tetap saja ku makan daripada
mubadzir. Maklum, lidah Indonesia, hehe… lagipula Fava beans sering disebut2
dalam buku kedokteran sebagai penyebab G6PD-Deficiency, hoho…
Selepas lunch, kami sholat Dzuhur di Masjid Suleymani.
Masjid ini luaaaas sekali. Arsitektur Turki benar2 terasa. Ah, aku sulit
mendeskripsikannya. Yang menari dari semua masjid yang aku kunjungi ini dan
masjid-masjid lain di Turki adalah dari karpetnya. Karpet disetiap masjid cuma
1 dan sangat fit untuk mengisi setiap ruangan di masjid. Beda dengan karpet
Indonesia yang walaupun tergolong besar, tetap saja harus disambung sana-sini
agar bisa memenuhi seluruh ruangan masjid.
Hal janggal lain yang aku temui saat sholat berjamaah adalah
tak ada satu pun akhwat Turki yang memakai mukenah saat sholat, berbeda dengan
Indonesia. Kalau sholat tanpa mukenah, tapi tetap menutup aurat mungkin tak
aneh buatku, tapi ini mereka sholat tanpa kaos kaki. Aku heran, namun tak ingin
ambil pusing. Memang cara kita berbeda, tapi tujuan kita sama, menghadap Allah.
It’s really simple, right?
Hal lain lagi, aku lebih senang mendengar dengung adzan
orang Indonesia ketimbang orang Turki, sekali lagi mungkin karena telingaku
telinga Indonesia, hehe…
Dalam perjalanan menuju Grand Bazar, aku foto2 jalanan di
Istanbul. Jalannya bersih dan tertata rapi, selalu ada semacam pembatas jalan
mirip pion catur di setiap trotoar.
Aku sampai di Grand Bazar, ternyata tempatnya gak jauh beda
dengan Tanah Abang (Jakarta), hanya saja barang2 yang dijual tentu berbeda.
Yang lucu adalah ternyata banyak juga barang “Made in China” di jual disana.
Aku sudah paham bahwa China memang sudah hampir menguasai atau bahkan
memonopoli perdagangan di dunia. Itulah mengapa aku ingin sekali berhati2 dalam
membeli barang2 saat berkunjung ke luar negeri.
Aku tak seperti kawan2 lain yang hobi shopping dan punya
daya tahan tinggi untuk keliling2 pasar hanya sekadar mencari barang yang
murah. Aku mungkin lebih condong ke tipe orang yang jika sudah merasa “klik”
dengan satu tempat, aku enggan beranjak ke tempat lain. Kalaupun nanti ada yang
lebih murah, ya itu risiko. Sama seperti ketika membeli tiket ke Turki. Walau
tiket yang dipesankan Mas Faisol lebih mahal, tapi aku tetap memilihnya karena
faktor “klik” itu tadi, padahal di kemudian hari aku tahu bahwa tiket yang
dipesan Bang Aan jauh lebih murah, tapi tak ada penyesalan yang berlarut2,
karena pasti ada hikmah.
Back to the story, aku merasa sudah cukup dengan merchandise
dan snack Turki yang aku beli. Kakiku sudah gempor (baca : capek). Aku pamit
dari rombongan. Mereka bilang, “Just follow our sisters from Uganda cause they
said that they want go dorm too”. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, bukan
karena aku tak bisa menjawab, tapi aku betul2 lelah. Aku coba mencari dua orang
temanku yang dari Uganda itu. Awalnya ku kira tak sulit karena hanya mereka
yang berkulit hitam diantara orang2 Turki yang berkulit putih. Aku jalan
mencari mereka. Dan kau tau apa? Aku sama sekali tak menemukan mereka, huhu…
mencoba balik untuk menemukan rombongan pun sepertinya mustahil.
Yup, kisah ini lebih tepat diberi judul “Lost in Istanbul”,
hiks… Aku memutuskan untuk balik sendiri ke dorm, tapi aku tak punya uang Lira
karena sudah habis untuk belanja, fufufu dungu sekali. Aku cari dulu money
changer dan aku bertanya pada orang2 harus dengan apa aku bisa sampai ke
Aksemseddin Chadesi (Jalan Aksemseddin). Beberapa dari mereka mengatakan aku
harus 2x naik bus untuk bisa ke sana. Astagfirullah…
Entah kenapa, walau tersesat di negeri yang jauh dari
Indonesia, aku tak takut sama sekali. Aku justru senang “Yes, I’m finally
lost”. #Mohon yang ini jangan ditiru, karena sangat berbahaya. So, don’t try at
home. Cuma orang-orang gila macam aku saja yang malah happy saat tersesat.
Aku naik tramline menuju salah satu stasiun atas petunjuk
dari seseorang. Sistem pembayarannya sama seperti ketika kita naik busway
trans-jakarta, jadi ya kesannya aku gak ndeso-ndeso banget lah. Setelah dari
stasiun satu (Jusuf Pasa station) , aku turun dan kembali mencari Metro subway
untuk bisa berhenti di stasiun dua (Fatih station kalo ga salah). Keren deh
kalo Indonesia juga punya kereta bawah tanah seperti ini, pasti gak ada tuh
yang namanya macet, insyaAllah.
Alhamdulillah, setelah sampai, aku istirahat sejenak di
taman2 yang unyu, banyak sekali bocah-bocah Turki main2 ditemani keluarganya.
Disana banyak tulisan “Fatih Belediyesi”, tapi pronounce-nya “Fatih Belediyeh”.
Setelah aku tanya, ternyata belediyesi itu adalah municipality.
Setelah puas istirahat, aku kembali hunting dorm. Aku
berjalan menyusuri Aksemseddin Chadesi dan Alhamdulillah bisa sampai di dorm
dengan selamat. Alhamdulillah ya, sesuatu banget, hehe…
Hari 2
Hari ini dibuka dengan sholat subuh pukul 4 pagi karena
adzan di Eropa itu pukul 3 pagi, fufufu… tapi Maghribnya pukul 8 malam.
Kebayang nggak kalo puasa Ramadhan pas disini? MasyaAllah…
Sarapan hari ini adalah roti dengan bentuk yang aneh.
Rotinya besar, dan setelah dipotong2 pun manurutku masih berukuran besar.
Selain roti, ada juga keju, tapi tidak seperti keju di Indonesia yang lebih
padat. Keju di Turki cenderung masih lembek dan rasanya tawar. Ada lagi
margarine, salad, dan buah zaitun. Itu untuk pertama kalinya aku merasakan yang
namanya buah zaitun. Ternyata rasanya sangat tidak cocok dengan lidahku.
Dari semua yang tersaji di meja, 1 menu yang menyelamatkanku
adalah madu! Cuma roti dan madu yang rasanya pas dengan lidah. Untuk minumnya,
Alhamdulillah ada teh, tapi teh yang tawar, tidak ada gula bubuk seperti di
Indonesia. Yang ada hanyalah gula balok. Aku butuh sekitar 6-7 balok gula untuk
meminum 1 gelas teh karena aku senang rasa manis.
Setelah sarapan, kami jalan2 melihat beberapa outlet yang
menjual baju2 khas Turki yang disebut Tunik. Baju itu bagus banget menurutku,
cocok dipakai teman2 yang bertubuh tinggi, bukan untuk yang bertubuh mungil
sepertiku.
Kami singgah di sebuah restaurant yang menyajikan Muhallebi,
bubur susu yang enak banget, harganya sekitar 6 lira, kalian harus coba ini
kalau ke Turki. Puas makan Muhallebi, kami mampir ke restaurant berikutnya, aku
memesan Et Doner dan soda. Kenyang banget, Alhamdulillah…
Setelah puas jalan2 dan makan2, kami sholat dzhuhur di
Masjid Fatih. Sama seperti masjid lain, design-nya gak jauh berbeda, karpet
tetap satu, dan ada menara yang sangat unik, yang tidak akan kau temui di
Indonesia.
Hari ini adalah pembagian dorm yang resmi karena kemarin
kami dibebaskan menempati kamar di dorm. Aku dapat kamar di lantai 6, fufufu…
Aku sekamar dengan Songul, gadis Turki
yang mengira usiaku masih 16 tahun, horeee… Itu artinya aku imut2 dong?
#abaikan
Songul heran melihatku membawa tablet karena di Turki harga
barang2 elektronik masih terbilang mahal, beda banget dengan di Indonesia.
Selepas ashar, kami dibawa ke Medicine Botanical Garden
untuk opening ceremony. Jadi ceritanya pesta kebun gitu deh, senang banget ^^
Dalam perjalanan aku melihat benteng yang katanya dari jaman
dulu ketika Istanbul masih bernama Konstantinopel.
Aku banyak foto2 di poster FIMA. Tayyibe, gadis Turki,
sering kumintai tolong untuk mengambilkan foto, hehe…
Di sini aku bertemu dengan Fithra, delegasi dari Indonesia
juga, dari Yarsi. Aku sempat heran. Sama herannya ketika aku bertemu Bassam. Ya
udahlah ya, ga usah diambil pusing…
Setelah welcoming speech dari bermacam2 orang, kami dinner
sambil melihat show dari teman2 Yordania. Menu dinnernya ada Lahmacun, salad
(lagi), roti, Ayran, daging asap, dan ada dua macam lain yang aku lupa namanya.
Kalo di Indonesia mirip kue combro, haha…
Hari 3
Bangun subuh, kaki sakit banget, buat jalan aja susah.
Mungkin karena kemarin terlalu banyak jalan kaki. Ya, orang2 Turki jarang
sekali menggunakan sepeda motor. Selama di Istanbul aku hanya menemukan 2
pengendara motor, selebihnya mobil. Hampir setiap orang berusia diatas 20 tahun
di Istanbul menggunakan mobil. Bisa terbayang kan betapa padatnya Istanbul?
Tapi entah mengapa tidak se-macet Jakarta, hehe…
Selepas subuh, akhwat2 di dorm-ku pada tidur lagi, mungkin
karena mereka masih capek. Aku yang tidak bisa tidur, malah foto2 kalender
Turki yang unik dan foto2 Turki dari atas kamarku di lantai 6. Sungguh menarik!
Hari ini aku sarapan Borek (semacam gorengan), Poaca (roti),
dan sandwich didalam bus menuju tempat kuliah di Merkezi. Sesampainya disana,
kami tak langsung masuk ruangan, malah foto2 dulu di Halic coz tempatnya oke
banget. Sebelum mendengarkan kuliah, kami tonton dulu presentasi dari negara
Malaysia, Uganda, dan Palestina.
Materi kuliah hari ini adalah “How to choose your Career in
Medical Field” yang dibawakan oleh dokter dari Arab Saudi. Kuliah kedua adalah
“Acceptance and Career Opportunity Improvement” yang dibawakan oleh dokter dari
Pakistan.
Kami lunch dengan Hamburger dan Ayran dalam bus menuju
Masjid Sultan Ahmed. Masjid ini adalah masjid yang dibangun oleh Sultan Ahmed
untuk menandingi besarnya Gereja Aya Sofya dulu. Setelah Masjid itu dibangun,
Islam berhasil menaklukkan Konstantinopel dan Gereja Aya Sofya diubah menjadi
Masjid Aya Sofya. Alhamdulillah ya, sesuatu banget.
Selanjutnya kami pergi ke Istanbul Museum of The History of
Science and Technology in Islam. Museum ini terletak dialam sebuah kebun luas,
mirip kebun raya Bogor, hehe… didalam
museum, banyak hal2 keren, tapi sayang gak semuanya boleh difoto.
Aku jalan pulang menuju bus bersama Fithra. Hari itu aku
baru tahu ternyata dia sama sekali tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Karena dia tumbuh di Amerika. Aku heran, mengapa orang-orang seperti ini bisa
mewakili Indonesia? Bukankah seorang delegasi harus memiliki rasa nasionalisme?
Dan mengapa bisa hali ini terjadi? Begitu pula dengan Bassam yang bukan asli
orang Indonesia, dia adalah orang Yaman yang kuliah di Indonesia. Mengapa
pihak2 yang mengirimkan dua orang ini sangat tidak selektif? Sempat emosi, tapi
males rebut… stay calm and stay cool aja :p
Hari ini lelah bukan main sampai2 aku ketiduran di dorm,
sementara yang lain sudah pergi untuk dinner. Husna, gadis Turki yang elok,
membangunkanku. Aku jadi tak enak hati. Ia menungguku berganti pakaian dan
menemaniku jalan ke tempat dinner. Menu dinner hari ini adalah ketan, roti,
salad (lagi) dan tumis terong.
Aneh sih. Kalo orang Indonesia sholat Maghrib dulu baru
dinner. Kalo disini, dinner dulu baru shlat Maghrib. Kami sepakat untuk sholat
berjamaah, tapi teman2 di Turki tidak ada yang mau menjadi imam karena kami
berbeda Mazhab. Mereka dengan Mazhab Hanafi sedangkan orang2 Indonesia,
Malaysia, Lebanon, dll ber-Mazhab Syafi’i. dari sini aku tahu bahwa kita betul2
harus menghargai perbedaan karena memang itu sunatullah.
Selepas sholat Isya’ kami jalan2 menikmati Turki di malam
hari. Kami mampir ke Lena’s Café minum Lemonate. Unik juga sih minuman ini
dikasih semacam lalapan kemangi diatasnya, hehe… di Lena’s Café kami memainkan
permainan tradisional Turki, Taula namanya. Orang England menyebutnya
Backgomman. Permainannya diatas papan yang mirip papan catur, tapi dengan cara
memainkan yang berbeda. Aku sulit menjelaskannya, tapi cukup mudah
memainkannya..
Hari 4
Kaki masih sakit, tapi aku tak bawa muscle relaxant, huhu…
Hari ini sarapan dengan menu yang sama.
Satu hal yang aku ingat saat perjalanan menuju tempat
sarapan adalah mobil2 yang setirnya di kiri, bukan di kanan seperti di
Indonesia.
Kami langsung dibawa ke Merkezi (tempat kuliah). Disana kami
mendengarkan presentasi dari Irak, Indonesia, dan South Africa.
Tadinya aku semangat 45 ingin melihat presentasi dari Indonesia
karena aku pikir Mas Faisol atau Bang Aan yang bakal maju, tapi ternyata dengan
santainya Bassam maju dan presentasi tentang Universitasnya, fufufu… kesal
bukan main… ingin aku teriak, woiii, kamu tuh bukan asli orang Indonesia…
penonton kecewa… Ah, tapi mulut ini terkunci. Aku bahkan dengan bodohnya hanya
bisa diam ketika Bassam mengatakan bahwa Bromo itu terletak di Central Java,
fufufu… Jangan samapi kata2 kasar terlontar dari mulutku karena rasa kesal ini.
Jelas aja dia nggak tau Bromo itu dimana, lha wong dia bukan orang Indonesia,
hiks…
Presentasi yang sungguh mengecewakan, terlebih lagi ketika
Mas Faisol dan Bang Aan pun tidak berbuat apa2. Sangat tidak greget dan just
let it gone with the wind, huhu…
Setelah kuliah dengan materi “Distinction our Career”, kami
melakukan semacam SGD (Small Group Discussion) mengenai kuliah tadi. Satu hal
yang berkesan untukku adalah kalimat “Don’t just wait, do the small concrete
step!”
Ada pengumuman dari panitia bahwa 14th FIMA Camp tahun ini
adalah pemecah rekor FIMA Camp dengan jumlah peserta terbanyak. Alhamdulillah
ya, sesuatu banget…
Kami pergi ke Topkapi Palace. Ini semacam museum yang luar
biasa, tapi sayang sekali lagi gak boleh foto2 dan aku pun sulit menjelaskan
keindahan didalamnya.
Dari Topkapi palace, naik tramline turun di Masjid
Suleymani, tapi langsung jalan2 ke Istanbul Universitesi. Foto2 disana dan
lanjut jalan ke Mimar Sinan Café. Café ini keren banget. Dari atas, kita bisa
lihat Istanbul, subhanallah… Allah memang Maha Keren bisa menciptakan alam
seindah ini.
Dinner dengan Lahmacun. Salah seorang Ibu yang mengurus
dinner kami mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang walaupun tidak cantik tapi
so shinny and cute, horeee… #abaikan
Hari 5
Kaki masih sakit, tapi Alhamdulillah sudah disediakan muscle
relaxant.
Hari ini selepas sholat subuh aku langsung mandi dan
bergegas menuju tempat breakfast karena aku ingin jalan dengan santai. Beberapa
hari ini kami selalu disuruh “Hurry up” sama panitia, jadi gak bisa slow dan
menikmati perjalanan, fufu…
Jadwal hari ini hanya mendengarkan presentasi dari Pakistan,
Sudan, Arab Saudi, Jordania, Lebanon, dan Kenya. Sisanya akan dipresentasikan
esok hari, begitu katanya.
Materi kuliahnya tentang “Career Development”.
Lanjut dengan diskusi tentang “Health Issue” di dunia.
Masing2 dari kami harus mengangkat tangan dan akan ditunjuk untuk berbicara. Aku
lihat dari jauh Mas Faisol dan Bang Aan pun angkat tangan, tapi entah kenapa si
dosen malah menunjukku, hehe… Aku sodorkan issue “Family Planning” dan dicatat
oleh salah seorang disamping dosen itu.
Lecture selanjutnya semacam pemberian motivasi untuk
maintaining our dream.
Selepas itu, kami foto bersama dan lunch dengan sandwich
lagi. Sambil menunggu yang ikhwan selesai sholat Jumat, kami melanjutkan
perjalanan ke Selat Bosphorus. Sesampainya di sana, kami langsung naik kapal
yang besar sekali, cukup untuk menampung semua delegasi FIMA Camp.
Di atas kapal, tabletku sempat jatuh. Setelah aku cek,
memorinya hilang semua. Huaaa, galau! Tapi bismillah, aku matikan tabletnya,
aku cabut MC-nya dan aku pasang lagi. Alhamdulillah everything is okay…
Subhanallah, selat Bosphorusss… Indah nian… Di sebelah
kiriku adalah Benua Eropa dan kananku adalah Benua Asia. Sambil menikmati
pemandangan Eropa dan Asia, aku menonton teman2 dari Turki menari diiringi
lagu2 Turki. Aku melewati Bosphorus bridge dan benteng2 peninggalan Bizantium.
Teman2 dari Uganda, Lebanon, dan South Africa pun menari diiringi lagu dari
daerah mereka masing2. Yang aku ingat cuma yang dari South Africa menari dengan
diiringi soundtrack piala dunia kemarin.
Diatas kapal, aku bisa melihat banyak lumba2 meloncat
didepanku. Dan jika kita melempar sepotong roti dari atas kapal, bakal ada
burung Marti (Seagull in English) yang terbang dari atas dan menyantap roti yang
kita lempar. Seru! Ternyata begini ya rasanya berada diantara 2 benua… Well,
going abroad has opened my eyes that Allah is the best creator, architech, and
sustainer in this world. Allahuakbar!
Hari 6
Aku harus pulang padahal masih tertinggal 1 acara lagi,
yaitu trip to Kevken Area. Katanya sih daerah dekat Laut Hitam, coba lihat saja
dalam peta, hehe…
Sayonara, Istanbul… See you!
Reqgi First Trasia
Denpasar, 18 July 2012
Komentar