Menjadi Muslim di Indonesia


Maaf sebelumnya kalau cover buku dan judulnya gak nyambung.
Jadi begini, di waktu luang liburan ini, saya berkesempatan membaca buku Psikoanalisa-nya Sigmund Freud terhadap Leonardo da Vinci.
Harusnya yg bisa saya petik adalah terkait isi bukunya.
Tapi oh tapi.
Entah kenapa yg terpikir oleh saya adalah "Wah, agak ngeri juga nih kalau seseorang yg dijadikan junjungan oleh byk orang sebagai bapak psikoanalisis ternyata wafat setelah menenggak morfin dlm dosis yg mematikan." Atau "Wah, seniman (pelukis) kelas dunia yg tersohor dgn karya2 fenomenalnya diduga seorang (maaf) homoseks."

Mohon dikoreksi jika ada yg kurang tepat, karena saya hanya menyimpulkan apa yg saya baca.
Sampai di sini saya menjadi ragu utk mengutip quote mereka2 yg keren karyanya, tapi ternyata sangat tidak inspiratif dari sisi yg lain.
Hmm, mau bagaimana lagi?
Fakta berbicara bahwa Bapak2 yg byk dikutip kata2nya dan menjadi inspirasi belakangan ini juga merupakan (maaf) y*h*di yg mengerikan, termasuk pimpinan tinggi aplikasi yg sedang kita pakai saat ini juga (kabarnya) seorang y*h*di, pun pebisnis vaksin yg begitu aneh bisa meramalkan pandemi namun mengkamuflasekan diri sebagai ketua m*cr*soft. (Tunggu, saya tidak sedang membicarakan bahwa wabah ini adalah konspirasi. Ini pandemi yg serius)

Lalu kemana perginya muslim2 berkelas di dunia ini? Kenapa seolah milenial berpura2 lupa siapa yg membuat rumus Aljabar, siapa yg menciptakan angka 0 (nol), siapa bapak kedokteran muslim hanya karena namanya disamarkan menjadi Avicena? Kenapa di buku SD saya disebut Columbus yg berhasil menjelajahi dunia, padahal Ibnu Batutah jauh lebih hebat?
Termasuk, yg ada dlm cover buku ini, kenapa harus Sigmund Freud atau Leonardo da Vinci?

Lebih kecil lagi, kemana perginya kita sebagai muslim di Indonesia? Apa kita hanya disibukkan dgn gawai? Atau ghibah? Ah, sama2 huruf G di depan.
Kita harus mengakui bahwa dunia Islam hari ini cukup tertinggal telak dlm perkembangan dunia (yg katanya) modern. Sains dan teknologi berkembang begitu pesat. Dan menyedihkan ketika sebagian dari kita memusuhi dunia modern, memusuhi realita bahwa dunia sudah berubah dan mengata2i haram, dosa, kafir, neraka hanya karena tdk bisa mengimbangi fakta sosial.

Tak bisa dipungkiri, Indonesia yg katanya memiliki populasi muslim terbesar ini ternyata lebih sering mengkotak2an diri. Misalnya, hei kamu muslim hitam, putih, abu-abu, dsb. Kenapa harus begitu?
Bukan, saya tidak sedang bicara Muhammadiyah, NU, HTI, atau simpatisan partai tertentu.
Toh kita sama2 menyembah 1 Tuhan.
Atau kenapa harus mengkotak2an muslimah berjilbab pendek, panjang, bercadar, pakai pashmina, pakai kerudung, dsb? Bingung saya.

Kenapa gak sama2 menghebatkan diri di bidangnya masing2?
Untuk yg peneliti/dosen/guru, yuk sama2 kita publikasikan jutaan jurnal agar referensi2 yg dipakai anak cucu kita nanti tidak dimonopoli mereka yg berkepentingan.
Untuk yg pengusaha, yuk sama2 jalankan bisnis sesuai tuntunan Islam dengan semangat bersaing yg tinggi.
Untuk yg dokter/perawat/nakes lain, yuk sama2 menyehatkan Indonesia dgn segala hal yg halal, tetap memprioritaskan pasien, tetap sabar, tetap sholat.

Yuk, berhenti menjadi warganet yg doyan komen, baru mikir. Yuk, berhenti menjadi netizen yg nyinyir, gampang sinis.
Tulisan ini sebagai pengingat diri saya sendiri ketika pikiran, mulut, hati, dan jari2 mulai tidak sinkron menjadi pengguna sosmed.
Maaf jika ada yg kurang berkenan.

Komentar

Postingan Populer