(mungkin) Saya Butuh Transquilizer

(mungkin) Saya Butuh Transquilizer
Reqgi First Trasia, dr.

Siapapun yang membaca posting ini, saya berharap kalian akan membacanya hingga akhir, agar tak salah paham.

Ya, saya memang sudah tidak waras, alias edan. Tes MMPI yang saya lakukan 3 hari lalu membuat saya dag-dig-dug, apa benar akan keluar hasil yang mengerikan bagi saya dan tanpa kompromi saya benar-benar membutuhkan obat penenang itu?

Sudah hampir setahun ini saya seolah menjadi orang lain, saya merasa aneh dengan diri saya. Saya bicara kasar, menulis hal kasar, mengasingkan diri, menangis, marah, bermuka masam, dan sebagainya. Meski suami saya selalu sabar, membawa suasana ceria, tertawa, tapi entah mengapa saya tidak berrespon positif.

Saya memang belum matur, terkadang masih ber-attitude negatif, sangat tidak cerdas dalam mengelola emosi. Terlebih ketika berhadapan dengan seseorang yang saya ingat betul dia pernah mencuci kembali pakaian yang sudah saya jemur, menjual printer saya di loakan seharga 5 ribu rupiah, diam-diam menjual cincin pernikahan saya, menyuruh saya menjual rumah, menjelek-jelekkan saya di hadapan suami dengan berkata bahwa masakan saya masih mentah, padahal jelas sekali ikan bandeng itu hampir gosong. Dan saya masih harus menghormatinya dengan cara yang patut.

Saya mendadak merasa tidak cocok dengan semua orang. Saya sering terbangun di malam hari, menangis, tak bisa tidur, kehilangan rasa percaya diri, sulit berkonsentrasi, mudah lelah, merasa tidak punya harga diri, pesimis, dan tidak nafsu makan terutama dalam 4 bulan terakhir. Ya, saya bukanlah saya yang dulu, yang begitu bersemangat menjalani hari-hari, bagun pagi dengan ceria, menikmati hidup saya. Apa karena saya tak punya hidup, maka tak ada hidup yang bisa saya nikmati?

Ketiadaan supporter dalam hidup membuat saya merasa tak beguna lagi. Sebenarnya ada, tetapi saya menganggapnya tak ada. Saya mendadak selalu melihat sisi negatif dari semua makhluk hidup yang ada di dunia ini. Ibu yang begitu baik, super baik, amat sangat menyayangi saya, mendadak saya menganggap beliau adalah pengganggu. Meski hanya dalam hati, saya tidak pernah lupa ketika beliau meminta kembali semua uang yang sudah ia keluarkan untuk biaya kuliah dan resepsi pernikahan saya. Saya tidak pernah lupa ketika saya meminta martabak manis, ibu berkata,”kenapa sih minta martabak melulu. Ibu kan tidak punya uang. Emang kamu bakal mati kalo nggak makan martabak?” Saya selalu dibayangi oleh dua adegan itu, padahal jutaan hari membahagiakan pernah saya lewati bersama Ibu.

Saya mendadak menganggap Ayah adalah penjegal, ketika Ayah sok meramalkan bahwa masa depan saya tidak akan secemerlang bidan di Tangerang yang bisa membuka klinik yang sangat besar itu, padahal Ayah adalah jembatan bagi saya dan adik-adik saya hingga sampai pada titik ini. Dalam hati sungguh saya menjerit melihat Ayah yang menjalankan 3 aplikasi transpotrasi online sekaligus (Gojek, Grab, dan Uber) untuk bisa menghidupi Zenia di Mataram dan Kaisar di Gontor dengan kondisi Ayah yang mengidap PJK (Penyakit Jantung Koroner). Saya menghindari betul untuk menginap di Tangerang, saya tidak tega melihat Ayah sesak napas, nyeri dada, keringat dingin berkucuran di tubuhnya saat sakit jantungnya kumat. Dan saya, anak pertama yang sudah dijadikannya seorang dokter ini tak bisa berbuat apa-apa, hanya diam di rumah, menggunakan seragam khas ibu rumah tangga. Alih-alih membantu perekonomian keluarga, saya justru jadi orang tak berguna dan terdampar di Depok.

Saya mendadak menganggap suami saya adalah penghalang, ketika saya merasa dikecewakan dengan hal-hal kecil seperti membersihkan kamar mandi, bangun di malam hari, kecerobohannya dalam banyak hal, pengetahuannya yang saya anggap dangkal, padahal sejatinya dia adalah malaikat bagi saya. Dia adalah teladan terbaik. Darinya saya belajar untuk “Ya elah gitu doang, santai aja”. Ratusan hari dipenuhi tawa oleh tingkah suami saya yang super humoris itu.

Memori kemudian melayang ke kejadian 7 bulan lalu. Ah, saya bersyukur dia masih hidup, ketika banyak orang di rumah sakit meragukan apa dia masih hidup atau sudah berpulang dengan kondisi wajah yang hancur dan tubuh yang bersimbah darah. Ya, saya menyayanginya, sangat mencintainya. Ketika dia selalu peracaya diri mengatakan bahwa dialah makhluk ter-ganteng di galaksi Bima Sakti ini, saya pun sepakat. Dia nomor 2 terganteng setelah Zayd.

Lalu soal Aqila dan Zayd. Betapa mengerikannya kondisi dimana mereka harus dibesarkan oleh seorang ibu seperti saya. Seorang ibu yang depresi, sering berteriak kesal, tiba-tiba menangis di sudut kamar. Kasihan betul mereka. Sosok aktif dan ceria seperti mereka membutuhkan Bunda yang kreatif dan penuh semangat.

Semua itu ditutup dengan Aqila yang begitu cerdas.
“Bunda sedih ya? Bunda marah ya? Iya?”
Saya hanya menangis.
“Bunda mau obat? Iya?”
Saya masih menangis.
Aqila menghampiri saya dengan membawa Al-Quran. “Ini obat, Bunda.” Ujarnya sambil menyerahkan kitabullah itu pada saya.

Sejak itu saya sadar. Saya tidak butuh Transquilizer. Saya butuh iman. Saya butuh Allah.

Depok, 8 April 2017
Reqgi First Trasia, dr.


Komentar

Postingan Populer