Kehamilan Kedua

Kehamilan Kedua
Reqgi First Trasia, dr.

Bulan Mei aku tak sempat menulis blog sama sekali. Sudah berusaha meluangkan waktu, tetapi selalu saja ada aral melintang. Baru sekarang aku sempat menulis beberapa kata. Ini seputar kehamilan kedua dan beraneka baper yang aku rasakan selama sebulan.

Diawali oleh rasa kesal pada mertua yang tingkah lakunya ‘ajaib’ karena punya latar belakang gangguan kepribadian. Bulan lalu ia (saya malas menggunakan kata ‘beliau’) meminta aku dan suami untuk menjual cincin pernikahan kami, lalu menyerahkan hasil penjualan cincin semua padanya, tapi kami menolaknya, hingga berakhir pada diam-diam ia menjual cincin suamiku tanpa persetujuanku. Edan.

Bulan ini ia menyuruh kami menjual rumah yang dengan susah payah kami cicil, lalu menyerahkan hasil penjualan rumah kami semua padanya. Gila. Kami mati-matian berhemat agar bisa tenang punya investasi rumah di masa depan, ia dengan seenaknya menyuruh kami menjual rumah itu. Sinting. Tabiat boros yang tak pernah berubah itu masih saja dipeliharanya. Menyusahkan kami.

Aku sama sekali tak pernah melarang suami untuk memberikan uang bulanan padanya, meski selama hampir Sembilan bulan ini, suamiku terhitung tak memberikanku nafkah yang layak karena harus menghidupi pihak keluarganya yang super hedonis. Sembilan bulan ini (terhitung dari Agustus 2015) aku hidup dari uangku sendiri, dari gajiku, dan dari upah keliling jaga klinik.

Karena keuangan kami yang semakin kacau akibat mertua yang rese’, target untuk mendaftar haji tahun ini sepertinya hanya mimpi. Aku benci.

Bagaimana suamiku menyikapi semua ini? Dia hanya tenang-tenang saja. Apapun yang terjadi, bagaimanapun kelakuan mamanya, ia tetaplah mamanya yang mengandung dan melahirkannya, meski tak pernah mengasuhnya. Karena suami sejak kecil sudah dititipkan pada neneknya. Bagi suami, ia tetaplah mamanya yang mungkin akan mati lebih dulu daripada aku, sehingga lebih dulu harus dibahagiakan daripada aku istrinya. Tak jarang, suami justru meminta sebagian gajiku ditransfer untuk mama dan adik-adiknya. Marah? Tentu saja aku sangat marah. Suami selalu saja berjanji untuk mengembalikan gajiku yang dipinjamnya, tetapi apa buktinya? Hingga saat ini tak ada pengembalian itu sepeserpun.

Mungkin kalian heran mengapa tutur bahasaku bisa sekasar ini saat membahas mertuaku? Andai saja kalian tahu kelakukannya dengan mata kepala kalian sendiri, kalian tentu akan paham bahwa sebagai manusia biasa, bukan Nabi atau Malaikat, tutur kataku ini kurang sadis.

Problem lain. Suami menyuruhku untuk cuti internsip dengan alasan aku sedang hamil dan ia ingin kehamilanku yang kedua ini sehat sambil mengasuh Aqila. Suami berharap aku melanjutkan internsip tahun depan. Yang benar saja. Ketika rekan sejawat dokter seumuranku sudah melesat dengan berbagai pencapaian, statusku masih sebagai dokter internsip? Itu mimpi buruk bagiku, bagi masa depanku.

Aku juga bodoh, kok bisa-bisanya hamil lagi? Padahal sudah menggunakan 2 metode KB bersamaan, tetap saja hamil. Aku heran, di luar sana banyak orang yang susah payah ingin punya anak, tetapi tak kunjung mendapatkan keturunan, sementara aku yang susah payah ber-KB, malah hamil lagi. Aku malu. Anak masih kecil, eh sudah hamil lagi. Dodol banget ya.

Awalnya rasa penolakan dalam hati begitu kuat ketika tahu aku hamil lagi. Bayangkan, anak satu saja hidup kami masih pas-pasan, bagaiaman kalau anak dua? Siapa yang akan membantuku mengasuh dua anak dengan tekanan rumah tangga yang seperti ini. Dengan suami yang tak memberiku ruang untuk melejit dengan berbagai prestasi, dengan mertua yang menekan kami dari segi finansial.

Sejak dulu sebenarnya aku ingin sekali menanamkan pada keyakinanku bahwa memiliki anak bukanlah beban, bukanlah derita bagi seorang perempuan, tetapi fakta berbicara lain. Anak tidak akan bisa ditinggal sesering agendaku saat menjadi mahasiswa dulu. Aku pun punya tanggung jawab ganda dalam hal ini. Sering aku berharap agar ibu dapat membantuku meringankan beban ini, tapi usia ibu sepertinya tidak memungkinkan, ditambah lagi kehidupan ibu yang juga pas-pasan dan harus mengurus adik bungsuku yang demikian susah diatur.

Tidak ada yang gratis di dunia ini, kawan. Betapa tidak tahu dirinya aku ketika begitu saja menitipkan Aqila di rumah ibu tanpa memberinya bekal apapun. Sebenarnya ingin sekali memberi ibu uang atau sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan di rumah ibu, tapi kondisi keuanganku juga kembang kempis, pun harus membayar transport pulang-pergi Tangerang-Cilegon yang tidak murah.

Aku selalu ingin marah dan menangis karena membenci keadaaan ini, tapi aku sadar banyak orang di luar sana yang justru ingin berada di posisiku. Ingin menjadi dokter, ingin menjadi istri, ingin menjadi ibu. Ah, mungkin aku saja yang selalu kurang pandai bersyukur.

Berbulan-bulan keinginan untuk lanjut S2 menggantung di langit-langit kos, tanpa ada satupun langkah kongkrit yang aku lakukan. Dungu kau, Reqgi! Hidupmu hanya untuk anakmu, suamimu, orangtuamu, adik-adikmu, dan pasien-pasienmu. Mana waktu untuk dirimu sendiri? Mana? Mimpi saja kau hebat, cita-cita saja kau keren, tapi itu semua hanya khayalan kan?

Cilegon, 9 Juni 2016
Reqgi First Trasia, dr.

Komentar

Postingan Populer