Salahkah yang Sudah Lewat?

Salahkah yang Sudah Lewat?

Beberapa hari ini aku sering merasa bersalah pada Amri dan Aqila karena memutuskan untuk mengambil internship di RSUD Cilegon. Intensitas waktu bersama mereka sangat banyak tersita karena program ini, tetapi kedua orang tuaku bersikeras menyuruhku tetap produktif dengan terus mengambil langkah maju. Aku memaklumi keinginan mereka yang benar-benar ingin melihat anaknya menjadi dokter karena mereka sudah menyekolahkan aku sampai menjadi Sarjana Kedokteran. Mereka sangat takut kecewa, anak pertamanya yang begitu diharapkan hanya teronggok di sudut dapur sebagai ibu rumah tangga. Akibatnya, benturan demi benturan aku dapatkan selama 4 bulan program ini berlangsung.

Amri pernah bilang, “Dunia professional dengan profesi yang menuntut profesionalitas tinggi, apapun itu, apalagi dokter, tidak akan pernah peduli apakah kamu sedang hamil, menyusui, ataupun mengurus anak. Yang mereka tahu adalah kerjaanmu harus beres, kamu harus hadir sesuai jadwal. Kamu sakit? Suamimu sakit? Anakmu sakit? Ya itu urusanmu, bukan urusan mereka. Jangan coba sekali-kali berharap ada keringanan, toleransi, ataupun terbersit kata “maklum” dalam dunia professional, juga dunia-dunia yang lain. Yang ada malah mereka mengira kamu hanya mengada-ada. Itulah mengapa sebaiknya wanita punya masa dimana mereka harus menikmati waktu DI RUMAH SAJA, mengurus banyak hal yang di mata Allah akan lebih tampak professional. Akan ada masa dimana wanita turut berkiprah, mungkin bukan detik ini. Dunia ini tidak akan pernah bisa menerima kita apa adanya, sayang.”

Kembali ke paragraf pertama. Ya, benturan demi benturan aku dapatkan selama 4 bulan dalam program ini.
1. Amri, suamiku, terkena demam berdarah dan harus dirawat di RS, sehingga aku harus izin 1 hari.
2. Hujan deras dan banjir di komplek perumahan Tangerang membuat aku pernah terlambat sekitar 1 jam untuk sampai Puskesmas
3. Jatah dobel-shift per hari et causa kocokan (ketika aku sedang bad-luck) bertambah ketika ada program jaga posko lomba MTQ. Saat hari-H, aku baru tahu ternyata aku tidak jadi dobel-shift. Teman-teman mengira aku ngadu ke Kepala Puskesmas soal jadwal ini, padahal sumpah demi apapun, aku gak membuka mulut sedikitpun soal jadwal ke dokter Faisal. Secara logika, beliau kan pegang jadwal MTQ kami, tentu beliau akan mengecek siapa yang jaga saat itu. Bukan begitu kah?
4. Keharusan pulang-pergi Tangerang-Cilegon membuat kondisi fisikku melemah. Aku sakit kepala 3 hari, demam 2 hari, pilek, sampai sulit sekali rasanya bangun dari tempat tidur. Rupanya aktivitas transportasi yang melelahkan itu menyedot dengan amat sangat berat badanku hingga 8 kg. Bad-luck pula bagiku saat itu ketika menemukan hape sedang diotak-atik Aqila sehingga beberapa aplikasi hilang, termasuk Line. Mencoba download dan install ulang selalu gagal, padahal grup kawan2 internship hanya ada di Line. Akhirnya aku izin via Whatsapp ke salah satu temanku. Sayang beribu sayang, temanku itu lupa menyampaikan ke grup di Line, sehingga teman2 yang lain menjadi salah paham dan lagi2 mengira aku menghilang begitu saja tanpa konfirmasi, padahal aku benar-benar drop hari itu. Jedarrr..

Nasi sudah menjadi bubur. 2 kali kesalahan yang aku buat tanpa sengaja, ditambah 2 kali kesalahpahaman yang mereka buat, menjadikan hubungan kami terasa berbeda. Begitu pula ketika aku harus cuti selama 2 minggu untuk full menjaga Aqila karena kedua orangtuaku pergi Umroh.

Saking bapernya, sampai aku curhat ke suami. Kenapa ya aku ini orangnya aneh? Kenapa aku selalu merasa dianggap aneh sama teman-temanku? Entah itu saat kuliah, maupun saat internship. Kadang aku merasa kemampuan komunikasiku amat lemah. Seringkali aku minder, melabeli diri sebagai orang yang tidak layak bergaul atau sejenisnya. Dulu saat kuliah, mungkin saking annoying-nya aku di mata teman-teman IMA Dextro (Islamic Medical Activists angkatan 2009), mereka sampai membuat grup Line sendiri tanpa aku. Nama grupnya IMA Dextro Bolangers. Dua belas orang teman muslim 2009 ada di sana semua, kecuali Reqgi First Trasia.

Lemahnya kemampuan komunikasiku (menurut suami) ada faktor kesalahan mendidik kedua orangtuaku saat aku kecil. Dulu aku sering sekali dimarahi, dipukul, dijewer, dijambak, ditendang, disiram susu hangat, diceburkan ke selokan/got oleh kedua orangtuaku jika aku berbuat salah. Mungkin itu yang membuat aku lebih memilih untuk diam dan mengasingkan diri sepanjang tumbuh kembangku. Rasa takut untuk berbuat salah karena khawatir dikucilkan oleh lingkungan justru mencetak aku menjadi pribadi yang merepotkan banyak pihak, malah membuat hal-hal di luar kesengajaan. Entah bagaimana aku menjelaskannya.

Beberapa hari belakangan ini juga aku seperti menyesalkan mengapa aku tidak memiliki orangtua yang sejak awal menikah sudah paham agama, agar bisa memahamkan anaknya soal agama. Lihatlah para penghafal Quran. Keberhasilan mereka tak lepas dari peran kedua orangtuanya. Mengapa aku tidak memiliki orangtua yang kaya raya, agar bisa memfasilitasi anaknya dalam banyak hal, seperti tidak kepanasan di jalan, mendaftarkan beragam kursus, membelikan sepatu segera setelah rusak, dan lainnya. Lihatlah para pencapai S2, S3, dan Spesialis. Keberhasilan mereka tak lepas dari dompet kedua orangtuanya. Mengapa aku tidak memiliki orangtua yang sabar, agar membuat jiwaku lepas untuk berkreasi tanpa takut berbuat salah?

Rasa iri pada mereka yang bahkan setelah menikah pun masih mendapat uluran tangan dari orangtuanya agar dapat menjalani hidup dengan layak. Rasa iri mendadak tumbuh subur dalam hati, padahal aku tak pernah menyiram ataupun memberinya pupuk. Namun apa aku pantas menaruh rasa benci pada kedua orangtuaku yang bagaimanapun mereka sudah memeras keringat untuk bisa sekadar menyekolahkanku? Tentu tidak. Bakti-ku pada mereka must go on. Apapun yang terjadi. Tidak ada yang salah dengan apa yang sudah lewat.

Cilegon, 30 Maret 2016
Reqgi First Trasia, dr.

Komentar

Postingan Populer