Kami Bisa
Kami
Bisa
Kata orang, wanita kuat
adalah wanita yang tidak menceritakan masalahnya pada dunia. Ada benarnya. Namun
kadang aku memilih untuk tidak peduli.
Aku tipe orang yang
kalau punya masalah, harus bercerita, baik itu ke Allah, ke suami, maupun ke
blog. Bila tidak, mungkin bisa gila, hehe.. (maaf lebai)
Tapi tenang saja. Aku tahu
mana yang boleh di share di blog, mana yang cukup diceritakan ke suami. Yang jelas,
mumpung masih ada waktu sejam-dua jam, aku ingin selalu menulis. Menulis adalah
salah satu hobiku. Kalau lama tidak menulis, rasanya ada yang kurang. Sudah jelas
bahwa salah satu kriteria diagnosis Depresi non Psikotik di buku PPDGJ adalah
tidak melakukan hobi dalam waktu 1 tahun. Nah, aku merasa harus mengantisipasi
diri agar tidak Depresi, hahaha..
Yang ingin aku
ceritakan kali ini adalah soal betapa aku, suami, dan Aqila bisa melewati 3
bulan ini dengan baik-baik saja secara visual, meski banyak gejolak secara
internal. Dari mulai mertuaku yang secara “aneh bin ajaib” menjual cincin
pernikahan suami tanpa sepengetahuanku, lantas memaksaku menjual cincin
pernikahanku juga dan uang hasil penjualan itu semua harus diberikan padanya. Haha.
Baru kali ini kan kalian mendengar ada mertua di dunia ini yang sesuper itu?
Ngakak. Tapi kalian tak perlu heran. Begitulah bila ternyata kalian memiliki mertua
yang punya gangguan kepribadian, perilaku, dan sosial.
Kalau kalian
di-sewot-in mertua, itu masih wajar. Mungkin karena dia masih kurang terima
anaknya “diambil” oleh kalian. Apalagi kalau anak laki-laki, tentu orang tuanya
tidak terima karena anak yang selama ini jadi “tambang-emas-nya”, yang selalu
iya-iya aja kalau dimintain ini itu berharga mahal, mendadak lenyap karena
menikah. Tapi kalau sampai maksa kalian menjual mahar dengan berbagai alasan,
itu namanya kelainan.
Lalu soal orang tuaku
yang sebenernya sih bisa dibilang kasihan, kasihan banget malah. Ayahku sudah
lebih dari 2 tahun tidak bekerja tetap, hanya bantu-bantu di masjid, beberapa
minggu ini mulai menjadi tukang ojek online (Gojek lebih tepatnya). Ibuku
kehabisan modal untuk berjualan baju di pasar tradisional yang selama ini
dilakoninya. Ibu hampir setiap hari mengeluh soal finansial, berharap aku bisa
membantunya. Selalu pusing sebenarnya setiap mendengar ibu berkeluh kesah. Tapi
apa daya. Yang dicurhati tidak jauh lebih kaya dari yang sedang curhat. Aku amat
sangat ingin membantu ibu, minimal untuk membayar tagihan listrik, air, atau
kebutuhan makan sehari-hari. Semoga aku bisa membantu ibu.
Lalu soal suamiku yang
bekerja banting tulang untuk memenuhi keperluanku dan Aqila. Aku selalu
berusaha menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca setiap menyambutnya pulang
kantor. Posisinya sebagai Team Leader / Project Manager di Badr Interactive
membuat beban kerjanya luar biasa. Dibodoh-bodohi oleh klien (Dirut PT Peruri),
mondar-mandir keliling ibu kota, kepayahan, sakit kepala, demam, gak sempat
makan, kena tilang, ngejar jadwal liqo, dan lain sebagainya. Kadang aku
menyesal, saat dia pulang, aku sudah tertidur menunggunya, atau aku
menyambutnya tanpa berdandan dan menyuguhkan masakan yang enak karena terlalu
lelah mengurus Aqila dari A hingga Z. Aku sering meminta maaf karena belum bisa
menjadi istri yang baik. Alhamdulillah, Amri (ayah Aqila) masih bisa
mentoleransi kondisiku yang menolak kehadiran pembantu atau baby sitter,
sehingga semua dikerjakan sendiri. Seringkali ibuku membantu dalam hal mencuci
pakaian (ada mesin cuci) dan memasak (bahan makanan tetap aku yang beli).
Sepulang dari
Puskesmas, aku biasa langsung memasak makanan untuk Aqila, memandikannya sambil
menunggu makanan tidak terlalu panas, menyuapi sambil bermain, mengajaknya
sholat, berdoa, melafalkan surat-surat pendek di AlQuran, membuatkan susu,
membacakan buku cerita bergambar, bercanda, merakit mainan-mainan yang selalu
baru (Aqila tipe anak yang cepat bosan, FYI), dan segala hal yang berhubungan
dengan Aqila. Lelah dan payah, tetapi menyenangkan melihatnya tumbuh cerdas dan shalihah. Dan itu semakin membuatku
menyayanginya, Aqila Zhafira Amri.
Bagaimana denganku? Haha.
Aku masih berkutat dengan kegalauan impian-impian yang belum tercapai.
Ingin naik haji dan
Umroh, tapi tabungan belum cukup.
Ingin tes Toefl, tapi
belum mempersiapkan diri dengan matang.
Ingin mencoba beasiswa
LPDP, tapi merasa belum cukup layak untuk mendaftar.
Ingin ambil kuliah S2,
tapi masih terbentur program pemerintah ini.
Ingin membuat StartUp
JobsMedic, tapi timnya masih pada sibuk.
Ingin menerbitkan novel
kedua tahun ini, tapi merasa tidak punya waktu untuk fokus menulis. Jangankan novel,
menulis artikel di doctormums.com saja aku absen dalam 3 bulan ini. Tidak ingin
menyalahkan Aqila sebagai penyebab menurunnya produktivitasku dalam hal
menulis, hanya saja aku menganggap ini bagian dari risiko menjadi bunda.
Ingin segera melunasi
hutang kami di KPR Syariah, di Gerai Dinar, di orang tuaku, tapi belum mampu.
InshaAllah, Allah akan mampukan kami segera. Allah kan Maha Kaya. Kalau
lunasnya tahun ini bisa gak ya, Allah? :D
Ingin segera punya
mobil tanpa hutang, karena kasihan Aqila kepanasan, kena debu dan polusi,
kehujanan, setiap naik angkutan umum, ojek, becak, atau jalan kaki, tapi buat
sehari-hari saja kadang masih susah napas. Wkwkwk.
Hmm, dasar aku memang
manusia ya. Susah kadang disuruh bersyukur. Banyak sekali impiannya, bahkan
nyaris lupa bahwa masih banyak yang bisa disyukuri. Alhamdulillah. J
Sahabat, doakan aku,
Amri, dan Aqila ya supaya kami bisa menggapai semua cita-cita, keinginan,
harapan, atau apalah itu kalian sebut. Terimakasih.
InshaAllah KAMI BISA!
Merak, 2 Maret 2016
Reqgi First Trasia, dr.
Komentar