Cincin Mahar
Cincin
Mahar
Tiga lembar dua ribu
rupiah.
Ya, hanya itu yang
tersisa di dompetku pada 15/2/2016. Aku malu, segan, bila harus meminta pada
suami. Hanya ada beberapa puluh ribu rupiah saja di ATM, yang tentunya tidak
bisa ditarik tunai. Sejak pagi aku belum makan nasi. Hingga sore hari, aku
memberanikan diri mengirim pesan singkat ke suami. Saat itu, aku sedang jaga
shift di Puskesmas Pulomerak.
“Bisa telpon aku
sebentar?”
“Aku gak punya pulsa.”jawabnya
singkat.
Aku menangis. Aku balas
lagi, “3 menit aja.”
Tak berapa lama
kemudian, dia menelponku dengan meminjam ponsel kawan kantornya.
“Assalamualaikum. Mas,
aku lapar.” Ujarku sambil menangis.
“Waalaikumsalam
waramatullah. Ya belilah, sayang.”
“Aku gak punya uang.” Aku
masih menangis.
“Astagfirullah. Kenapa kamu
gak minta?”
“Aku malu sama kamu. Aku
tahu kamu juga gak punya uang.”
“Sayang makan yaa.
inshaAllah nanti aku kirim uangnya.”
“Uang dari mana?”
“Tenang aja. InshaAllah
halal.”
Kami mengakhiri
percakapan dengan permintaan maafnya karena tidak peka dengan kondisi finansial
keluarga.
Ya, sudah lebih dari
dua bulan kami seperti ini. Bukan karena suami tak menjalankan kewajibannya
dalam menafkahi keluarga, tetapi memang apa yang sudah diupayakannya masih
belum mencukupi kebutuhan kami yang terlampau banyak. Berhemat habis-habisan
sudah kami lakukan, tapi tetap saja seperti ini. Menyalahkan keadaan tak akan
ada gunanya.
Kedua orang tua kami
juga terus meminta uang untuk hidup sehari-hari. Takdir menjadi anak pertama,
membuat saya dan suami harus berusaha ekstra tak hanya untuk keluarga kecil
kami, tetapi juga untuk orang tua dan adik-adik ipar.
Menyesali keputusan
mengambil KPR juga tak menyelesaikan masalah.
Dan..
Akhirnya..
Kami memutuskan untuk
menjual cincin pernikahan yang suami berikan sebagai mahar bagi saya dulu,
karena hanya itu satu-satunya harta kami yang tersisa, yang bisa diuangkan
dengan cepat. Hari itu juga kami mencari surat-surat emas, meminta bantuan
orang tua untuk menemukannya, dikatakan suratnya masih lengkap.
Bertahan menunggu
tanggal 28 Februari (tanggal suami gajian), terasa sangat lama. Saya tidak
mungkin membiarkan lambung saya atropi. Suami baru ada waktu untuk menjual emas
hari Sabtu, karena senin-jumat, ia harus bekerja. Saya mencoba meminta izin
pada suami untuk berangkat sendiri ke Pasar Cengkareng, menjual cincin kami. Tetapi
ia tidak mengizinkan. Biar suami saja yang berangkat ke Cengkareng, katanya.
Dalam perjalanan dari
Merak menuju Tangerang, mendadak aku teringat kalau kami masih menyimpan sisa
dolar di lemari. 12 dolar Singapore. Tak banyak memang, tapi inshaAllah cukup
untuk mengulur waktu sampai hari penjualan cincin.
Setiap malam, saya
berhitung dengan waktu, berusaha tidak menangis, tak ingin tampak lemah. Saya berpikir,
apa iya separah ini kondisi keuangan keluarga kami sampai harus menjual cincin
yang punya sejarah? Cincin mahar pernikahan, yang menjadi syarat pelengkap ia
melakukan akad.
Tibalah hari penjualan
emas. Cincin mahar kami dulu sepasang, tetapi suami tidak memakai cincin emas,
jadilah cincin itu dititipkan pada mama (mertuaku). Betapa terkejutnya aku
ketika tahu bahwa cincin emas suamiku ternyata sudah dijual dan ditukar dengan
kalung oleh mama. Hancur rasanya diri ini (maaf lebai). Saat aku konfirmasi ke
suami, ternyata memang benar sudah ditukar dengan kalung, tanpa diskusi
denganku dulu. Marah, kecewa, sedih, ketika tidak dimintai pendapat soal hal
penting ini, itu artinya suaraku memang tak dianggap. Lalu aku bisa apa? Berdoa?
Iya, itu saja.
Ah tidak, ada satu hal
lagi yang bisa aku lakukan. Bersabar.
Cilegon, 19 Februari 2016
Reqgi First Trasia, dr.
Komentar
semoga diberi ketabahan, dikuatkan dan dimudahkan oleh Allah.
Makasih Monica.. :)