Kuliah Sabar
Kuliah
Sabar
Marah. Marah. Marah. Beberapa
hari ini perasaan itu saja yang selalu berkecamuk di kepala dan hati saya. Padahal
saya tahu “Jangan marah, maka bagimu surga.”
Semua ini berawal dari
sesuatu yang bukan segalanya, tapi segalanya butuh sesuatu itu. Apalagi kalau
bukan uang.
Kehidupan berrumah tangga
tentu tak akan lepas dari soal pemenuhan kebutuhan finansial.
Kami diuji dengan
sesuatu yang semua orang pasti juga pernah mengalaminya, tapi jika mereka bisa
melewati, mengapa kami tidak? Bukankah Allah tidak akan membebankan sesuatu di
luar kemampuan hambaNya?
KPR Syariah. Begitu menggiurkan
pasangan muda dengan kantong pas-pasan seperti kami. Berbekal nekat dan
tawakal, kami mulai meminjam sana-sini untuk DP rumah di Depok. Setelah tekumpul,
kami mulai merencanakan akad jual beli rumah. Kami bersyukur (awalnya), tetapi
kemudian satu-dua-tiga masalah muncul.
Seseorang berinisial
TAN, yang pada 2014 tampak begitu meyakinkan soal investasi yang menguntungkan,
menipu kami. Memang, dia tidak kabur. Tapi keberadaannya membawa ‘petaka’. Orang
bijak berkata, pasti ini ada hikmahnya. Jumlah yang kami investasikan memang
tidak banyak, tapi cukup untuk menambal hutang sana-sini untuk DP KPR Syariah. Campur
tangan kedua orang tua dan mertua yang seolah menyalahkan suami. Menuduh suami
ceroboh, mudah percaya pada orang lain, berkata kalau suami terlalu lembek
dalam menagih ke TAN, menyudutkan dan memojokkan posisi kami, menganggap kami
pengecut, dan sebagainya, bukan malah bersimpati dengan kesulitan kami. Terutama
pihak keluarga suami yang terus mencecar agar uang tersebut segera dikembalikan
utuh. TAN betul-betul mengacaukan semuanya. Penampilannya yang begitu
meyakinkan dengan menyelipkan bahasa Arab di setiap ucapannya (ana, antum,
akhi, afwan, dan lain sebagainya), bergabung dalam grup Jamaah Online Shop yang
beranggotakan pengusah-pengusaha, ternyata (menurut saya) itu hanya muslihat.
Saya khawatir salah
bicara dan malah menjatuhkan kepercayaan diri suami. Saya bingung bagaimana
cara menguatkannya. Saya hanya bisa berdoa dan menangis, sering setiap malam
saya sulit memulai tidur, dan bila tertidur, saya sering terbangun di malam
hari.
Masalah berikutnya
adalah soal mutasi plat nomor sepeda motor suami yang awalnya DK, ingin kami
ubah menjadi plat B. Ternyata biayanya cukup besar. Berbulan-bulan kami
menunggu kabar dari Samsat Denpasar, disertai rasa khawatir BPKB, STNK, dan KTP
asli suami dibawa kaburlah, atau rasa paranoid lain yang menghantui kepala
setelah musibah penipuan yang baru beberapa minggu sebelumnya kami alami.
Bayangkan, dua-tiga
hari pasca suami gajian, uangnya langsung ludes, untuk membayar cicilan hutang
DP rumah, biaya KPR, cicilan Macbook, arisan kantor, memberi uang bulanan ke
mertua, biaya kos saya di Cilegon, membeli pulsa, keperluan bulanan Aqila,
deposit KRL commuterLine dan alokasi transportasi. Lantas dengan apa kami makan
dan lainnya? Saya bisa membayangkan bagaimana kemelutnya pikiran suami yang
sudah berusaha semaksimal mungkin. Ditambah pula gaji saya selama 2 bulan di
Cilegon tak kunjung turun, semakin membuat serat kerongkongan. Berhemat habis-habisan.
Saya pun mulai “ngamen”, mencari dua ratus – tiga ratus ribu dari satu klinik
ke klinik lain secara ilegal. Beruntung bila dapat sampai empat ratus ribu,
saya share berdua dengan suami.
Sudah dua bulan ritme
kehidupan kami seperti ini. Mungkin ini pula yang memaksa saya nekat mengambil
kerjaan di Cilegon Pulang-Pergi. Membantu sedikit-sedikit kebutuhan pangan
keluarga (karena sandang dan papan sudah dipenuhi oleh suami).
Rasa marah bercampur
sedih menyulap diri saya menjadi sosok yang tidak pandai bersyukur, bermunculan
bibit-bibit penyakit hati dalam dada. Curhat pada suami, alih-alih mendapatkan
kata mutiara, doi malah menyebut saya terlalu banyak baca novel, sok sinetron. Huff.
Hingga pada puncaknya, Allah seperti membalikkan hati. Saya yang tadinya
mengeluh, mendadak merasa ikhlas. Ikhlas melihat banyak orang di luar sana yang
saya nilai jauh lebih beruntung. Ikhlas melihat diri saya yang hidupnya masih
begini-begini saja.
Awalnya, saya seolah
lupa, banyak juga orang yang ingin menikah di usia 21, tapi belum kesampaian. Banyak
orang yang sudah lama menikah, tapi belum dikaruniai anak. Banyak orang yang
masih ngontrak, belum punya kendaraan, dll.
Bersama Aqila dan
ayahnya, saya perlahan melepaskan satu per satu apa yang dulu saya sebut
sebagai ambisi. Mencoba mensyukuri dan menjalani hari-hari yang menggembirakan.
Menyerah dengan cita-cita? Sebut saja begitu. Saya mencoba menjadi tuli dengan
apa yang orang katakan. Menikmati hidup yang saya pilih sendiri. Beberapa waktu
ke depan, omong kosong soal produktivitas dan kontribusi. Saya hanya ingin
merasakan cinta dan sayang yang semakin tumbuh untuk Aqila dan ayahnya. Ujian-ujian
dalam mata kuliah sabar itu semakin membuat kami dekat, merasakan bulir-bulir
kesabaran, menjalani bersama, memasrahkan, membiarkan Allah membawa kemanapun
hidup saya sekarang, sambil terus berdoa agar kami bertiga masih diberi
kesempatan untuk menatap ka’bah bersama.
Cilegon, 1 Februari 2016
Reqgi First Trasia, dr.
Komentar