Pita Hitam Itu Lagi



Pita Hitam Itu Lagi

Hari ini tepat 1 hari setelah isu mengenai kriminalisasi dokter mencuat di masyarakat. Lebih heboh lagi di media sosial. Satu artikel ter-upload, ribuan makhluk berramai-ramai meng”share”. Sebusuk itukah dokter di mata mereka? Ah, sudahlah, aku ngantuk!

Aku duduk di kursi panas VK RSUD Buleleng. Sekilas sudut mataku menyorot pita-pita hitam yang terpasang di setiap jas putih milik dokter-dokter residen Obgyn. Pita-pita hitam itu tergantung di dinding front office VK. Dengan setengah ‘nyawa’ aku pandangi pita hitam itu. Simbol empati. Simbol bahwa sesulit apapun usaha dokter, tetap saja, ada saja, selalu saja, makhluk-makhluk itu berramai-ramai menghujat dokter. Sebusuk itukah dokter di mata mereka? Ah, sudahlah, aku ngantuk!

Aku pun tertidur di kursi panas VK. Sudah 2 minggu kursi ini adalah tempat tidurku. Ya, tidur di kursi, bahkan di lantai, bukan lagi hal yang aneh bagi koas. Yang penting bisa tidur. Begitupun ketika disuruh memilih, makan atau tidur, tentu kami lebih memilih tidur.

Baru 10 menit aku tertidur, adik2 Akbid membangunkanku, “Dokter.. Dokter.. Ada pasien baru, Dok!” Adegan-adegan macam ini selalu berulang setiap hari (red : dibangunkan, dikejutkan dengan teriakan pasien)
Aku terbangun. Tatapan pertama yang Nampak saat aku membuka mata adalah pita hitam yang tertempel di jas putih residen. Ah, pita hitam itu lagi!

Aku arahkan mataku ke jam dinding VK. Hmm, pukul 01.05 WITA, padahal sebelum tidur aku lihat pukul 00.55 WITA.

10 detik. Aku pun melihat adik Akbid yang membangunkanku. “Ada pasien baru, dok,” ulangnya. Aku bangkit dari kursi. Seorang ibu, 14 tahun, merintih kesakitan. Mataku yang awalnya parah ngantuk, mendadak terbuka lebar mendengar pengakuan pasien itu.
“Beneran 14 tahun?!” tanyaku

Aku lakukan periksa dalam. Oh, bukaan lengkap! Setelah lapor ke residen, aku pun pimpin persalinan. Berturut-turut lahir bayi, plasenta, lanjut evaluasi 2 jam post partum. Stop, stop, ini bukan laporan partus, Reqgi!

Setelah menolong partus (pukul 02.15 WITA), aku kembali tidur. Dimana? Ya, tepat sekali! Di kursi. 20 menit kemudian, ratapan itu terdengar kembali, “Dokter.. dokter.. bangun, dok.. ada pasien baru..” Singkat cerita, aku menolong persalinan seorang ibu usia 45 tahun ini.

04.00 WITA. Aku sudah tidak bisa tidur lagi jam segini, sebab aku terbiasa bangun pukul 03.00 WITA, kecuali dalam puncak kelelahan, aku bisa bangun pukul 05.00 WITA.

Subhanallah, hari ini melelahkan, menyenangkan, kadang juga menyulut emosi. Kadang juga aku berkeluh, walau hanya sepintas lalu, walau hanya sedetik-dua detik, pernah pula terlintas pikiran-pikiran : betapa indahnya hidup mereka! Siapa mereka?
1.       Mereka yang punya waktu banyak untuk mengkhatamkan 1 juz setiap harinya
2.       Untuk menghafalkan 2 halaman Quran setiap harinya
3.       Untuk bercengkrama dengan keluarga, suami/istri, menggendong anak
4.       Yang berjalan-jalan keliling Indonesia, bahkan keliling dunia
5.       Yang belajar/kursus bahasa asing
6.       Yang mampu ‘mencetak’ uang
7.       Yang bisa cuti untuk umrah / naik haji
8.       Yang mulai mengembangkan perusahaan pribadi
9.       Mereka yang punya waktu banyak untuk beristirahat, makan, dan mandi dengan tenang

Sisi lain dari diriku menasihati : sudahlah, Reqgi! Berrakit-rakit ke hulu, berrenang-renang ke tepian. Segala yang kau lakukan inshaAllah bernilai ibadah. Ikhlaskan. Semuanya akan berbuah manis kelak.

Ohya? Benarkah? Jaga 24 jam, tidur terbatas, itu saat koas. Tanggung jawab semakin bertambah saat tiba pada posisi residen, belum lagi saat menjadi spesialis dan konsultan. Memang bisa dibawa santai dan enjoy, tapi rasa ke-hati-hati-an itu terus menghantui. Salah sedikit, keluarga pasien bisa seenaknya menuntut dokter dan membawa kasusnya ke meja hijau. Di sana, seorang dokter diperlakukan layaknya pembunuh berdarah dingin. Pertanyaannya : manusiawikah sikap mereka yang memperlakukan dokter serendah itu?

Padahal setiap hari, puluhan pasien datang pada 1 dokter untuk mengeluh. Bayangkan, 1 manusia harus mendengarkan, menganalisa masalah/keluhan, memutuskan apa yang sebenarnya terjadi (red : diagnosa), apa yang harus di cek selanjutnya, terapi apa yang harus diberikan pada lebih dari puluhan orang setiap hari. Setiap hari!

Ya, itu kan memang tugas dokter! Benar, benar sekali. Bahkan kalimat itu seolah menegaskan bahwa dokter tak boleh mengeluh sebagaimana pasien-pasiennya mengeluh. Bahwa dokter tak boleh sakit. Bahwa dokter tak boleh salah. Bahwa dokter seolah harus tahu segalanya. Ya, segalanya.

Momen indah selanjutnya (di hari lain) adalah ketika pukul 01.30 WITA aku baru selesai menolong persalinan. Aku tertidur di kursi (seperti biasa). Seorang pasien yang diantar keluarganya membentak-bentak, “Hey, bisa nggak saya ini ditolong dulu?! Jaga kok malah tidur!” dengan nada bicara arogan.

Saat itu aku sendiri. Teman koas yang lain tidur di belakang ruangan. Bidan-bidan senior tidur nyenyak di kasur. Residen-residen tidur di ruangan khusus. Aku pun kaget, lantas terbangun, “Oh iya, bisa, Bu” jawabku. Aku bawa pasien itu ke meja pemeriksaan.

Belum sampai 5 detik, pasien itu ngomel lagi, “Saya ini sering kontrol ke dokter spesialis, jadi jangan asal-asalan dan jangan lambat ya menolong saya!” Aku hanya mengangguk dengan mata 5 watt.
“Satu lagi, saya ini istri dari bla bla bla, jadi perlakukan saya dengan baik!”
“bla bla bla? Siapa itu, bu? Kok saya gak pernah dengar nama itu? Ngomong-ngomong, ibu kenal suami saya? Pasti ibu kenal. Suami saya orang ternama di negeri ini!”

Ingin rasanya membalas arogansi pasien itu dengan kalimat senada, tapi untung itu hanya dalam khayalanku saja. Haha, tak mungkinlah aku berlaku sombong di depan pasien sendiri, walau banyak yang bilang, pasien-pasien seperti itu layaknya ke laut aja. Kebetulan, Bali dikelilingi laut. Lagipula, suamiku juga bukan orang ternama di negeri ini. Ia hanya selalu ternama dalam hatiku #ehm. Tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti suamiku benar-benar menjadi orang tersohor, bahkan lebih popular dari Presiden Republik ini. Tersohor karena terobosan dan inovasi yang ia lahirkan untuk bangsa ini. Amin.

Aku tak bisa tidur. Di samping karena aku merindukan seseorang (Maaf jika kalian harus membaca curhat colongan ini), insomnia ini juga karena aku memikirkan dinamika masa depanku sebagai dokter kelak. Akankah aku bernasib malang seperti… Semoga tidak!

Pita hitam itu lagi. Jas putih itu lagi. Tidakkah masyarakat sadar bahwa yang ada di balik ‘jas putih’ itu hanya manusia? Manusia yang selalu berusaha menangani pasien dengan sempurna di tengah latar kemanusiaanya yang tak sempurna. Keberadaan dokter seolah tak disyukuri, hilang pun mungkin tak dicari. Profesi ini sedang sensitive. Salah sedikit, banyak masyarakat yang menyikapi setiap isu dengan emosional dan reaktif, ditambah sulutan kompor pihak-pihak yang sok ngerti hukum. Alih-alih dapat simpati, masyarakat justru antipati terhadap dokter.

Pita hitam itu lagi. Jas putih itu lagi. Jas itu seperti simbol bahwa dokter harus menyelamatkan dan menyembuhkan semua pasiennya. Harus tahu semua etiologinya. Padahal banyak penyakit di buku-buku dan jurnal kedokteran yang menuliskan etiologi ‘unknown’. Yang memungkinkan dianalisa dokter adalah faktor predisposisinya (trigerring factor). Itulah mengapa sesungguhnya kesepakatan antara dokter-pasien adalah kesepakatan upaya, bukan outcomenya.

Pita hitam itu lagi. Jas putih itu lagi. Kadang aku heran, mengapa upaya menyelamatkan nyawa seseorang menjadi suatu tindak pidana? Iya, dokter memang bertanggung jawab untuk mengobati, tapi bukankah hanya Allah yang mampu menyembuhkan?
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku dan yang akan mematikanku, kemudian akan menghidupkanku kembali” (Asy Syu’araa ; 80-81)

Kita diperintahkan untuk menghidupkan sepertiga malam dengan tahajud. Sedang dokter menghidupkan sebagian malam-malamnya untuk menjaga dan merawat pasien.
Kita dilarang untuk menyentuh hal-hal najis. Sedang dokter setiap hari tangannya harus berlumuran darah, kencing, nanah, air ketuban, dan muntahan.
Kita dilarang untuk mendekati daerah endemik penyakit. Sedang dokter harus melakukan survey, membuat dan melaksanakan program pemberantasan endemik.

Pernah pula ada momen emergensi. Ketika dokter berusaha menyelamatkan pasien yang kritis, keluarga pasien justru menuntut sang dokter karena melakukan sesuatu tanpa persetujuan keluarga dengan perjanjian hitam di atas putih. Oh, Rabb, jika ada pasien yang harus diselamatkan karena jatuh dari tebing, karena overdosis narkoba, karena gagal jantung, apa waktu 10-15 menit untuk mengurus surat perjanjian hitam di atas putih itu bisa menjamin keselamatan pasien? Padahal tak sedikit penyakit yang mampu meregang nyawa pasien hanya dalam hitungan detik. Kalau dipaksakan demikian, baiklah, mulai sekarang bagaimana jika semua tindakan, apapun itu, emergensi sekalipun, dokter wajib mengamankan dirinya dulu dari kemungkinan tindak pidana, tak peduli fase sakaratul maut di depan matanya. Hayo? Pilih mana?

Hampir setiap profesi di dunia ini bisa saja mogok kerja 1 hari jika merasa haknya tidak tertunaikan. Aku punya ide : bagaimana kalau dokter se-Indonesia, gak perlu 1 hari, cukup setengah hari saja, serempak seluruhnya, tanpa terkecuali, mogok kerja saat merasa profesinya dikriminalisasikan? Ya, dokter se-Indonesia mogok kerja! Seru bukan?!

Hmm, para ulama memfatwakan, bahwa dokter merupakan profesi fardhu kifayah, yang artinya harus ada di antara umat muslim yang menjadi dokter. Kalau tidak, semua umat muslim di wilayah tersebut akan mendapat dosa.

Berbahagialah, sejawat! Barang siapa yang meringankan beban saudaranya, maka Allah akan meringankan bebannya. Percayalah.

Reqgi First Trasia
Singaraja, 211113

Komentar

Postingan Populer