Keliling Dunia Dengan Seribu Rupiah




Jangan anggap saya sombong atau kata negatif sejenisnya, disini saya hanya ingin berbagi cerita. Atau lebih gampangnya, anggap saja kisah saya ini fiktif belaka.
Saat itu uang saya di dompet tinggal SERIBU RUPIAH, padahal masih tanggal 21. Sebenarnya saya sudah terbiasa dengan kondisi serba pas-pasan macam ini, tapi ini yang paling berkesan. Bukan nominal SERIBUnya, tapi kisah yang saya jalani dengan uang SERIBU.
Hari itu saya berangkat ke rumah sakit (sebagai KOAS) dengan hanya sarapan mie instan (satu-satunya yang tersedia di kos). Dalam kondisi perut yang belum bisa dibilang penuh, saya mengalami peristiwa-peristiwa unik ini :

Pertama :
Saya sedang stase di bangsal rawat inap. Kebetulan, telepon di ruangan itu berdering. Saya mendengar deringnya. Saat tangan saya refleks hendak mengangkat telepon, seorang teman yang kebetulan melintas mencegah, “Jangan diangkat, Reqgi. Kemarin aku angkat telepon, malah dibilang lancang sama perawatnya.”
Saya menurut. Saya biarkan saja telepon itu berdering. Tak lama, terdengar teriakan dari ruang sebelah. Teriakan dari seorang perawat (1), “Koas, pake dong kupingnya! Angkat itu teleponnya! Punya kuping kan?!”
Saya, dengan perut lapar, akhirnya mengangkat telepon itu.

Kedua :
Saya hendak menulis hasil follow up pasien. Seorang perawat (2) yang melihat saya, bertanya sinis.
Perawat : Koas, ngapain kamu disini?
Reqgi : Saya mau nulis follow up pasien, Bu…
Perawat : Kok disini?
Reqgi : Biasanya juga selalu nulis di sini, Bu. Residen nyuruh saya nulis di sini…
Perawat : Keluar kamu! Saya nggak suka lihat koas di sini! Sana!
Saya, dengan perut lapar, akhirnya keluar dan menulis lembar follow up pasien sambil berdiri.

Ketiga :
Saya hendak mengambil handscoon (nonsteril) di ruang persiapan. Seorang perawat (3) yang melihat saya, bertanya sinis.
Perawat : ngapain ngambil handscoon?!
Reqgi : mau periksa pasien, Bu..
Perawat : pasien apa?!
Reqgi : pasien hernia..
Perawat : hernia kan bukan penyakit infeksi, gak usah pake handscoon!
Reqgi : tapi dulu saya pernah dimarahi dokter kalo pegang pasien tanpa handscoon…
Perawat : kalo saya bilang gak boleh, ya gak boleh!
Reqgi : beneran gak boleh ambil handscoon, bu?
Perawat : Duh, kamu ini! Saya laporkan kamu ke dokter spesialis ya kalo ngelawan omongan saya!
Saya, dengan perut lapar, akhirnya mengemis handscoon dari ruangan lain.
Dalam hati saya : Ah, omong kosong itu akreditasi-akreditasi.. Kalem, Reqgi.. Santai…

Keempat :
Saya hendak merawat luka pasien. Lagi-lagi, seorang perawat (4) bertanya dengan sinis.
Perawat : Koas, mau ngapain?!
Reqgi : Saya disuruh Residen rawat luka, Bu…
Perawat : Biar residennya aja yang rawat luka, tugas koas disini itu cuma buang sampah…
Saya, dengan perut lapar, kali ini berusaha mengabaikan omongan perawat.

Kelima :
Cara saya memplester luka pasien kurang rapi.
Residen : Ya ampun, dek! Plester begini aja kamu gak bisa! Gimana sih! Kamu ini udah jelek, bodoh lagi!
Saya, dengan perut lapar, sudah sampai di ambang batas kesabaran. Air mata pun menetes tanpa sadar. Tapi kemudian saya hapus. Saya tahu, air mata saya terlalu berharga jika harus diteteskan untuk caci maki mereka.
Saya sadar saya memiliki wajah pas-pasan, otak pas-pasan. Bahkan mungkin ketika Residen itu tau isi dompet saya, dia akan berkata, “Kamu ini udah jelek, bodoh, miskin lagi!”
Tapi saya mensyukuri itu semua. Setidaknya saya masih punya orang tua yang sangat menyayangi saya. Kenapa  saya MENANGIS hanya karena lapar dan TIDAK PUNYA uang? Sementara banyak orang di luar sana yang TIDAK PUNYA tangan, kaki, mata, masih bisa TERTAWA.

Keenam :
Di kos, saat saya hendak menaruh gallon ke dispenser, ingin minum setelah melewati kejadian-kejadian tadi. Betapa kagetnya saya melihat dispenser saya tidak ada di tempat. Saya pun bertanya pada teman kos.
Reqgi : kamu lihat dispenserku ga?
Teman : kemarin aku taruh di situ…
Reqgi : tapi di situ gak ada…
Teman : waduh, aku gak tau… mungkin ada yang bawa…
Dalam hati saya : hah? Ada yang bawa? Siapa? Gak ada yang minta izin ke saya. Hmm, mungkin saja dispenser saya itu sebesar biji kwaci, jadi bisa dikantongin sama oknum tertentu. Atau dispenser saya punya ilmu tertentu yang membuatnya jadi tak kasat mata. Ilmu apa? Entahlah, yang jelas bukan ilmu matematika atau ilmu bahasa.
Baiklah, saat ini saya, dengan perut lapar dan rasa haus, sepertinya harus membayangkan betapa perkasanya diri saya ketika minum langsung dari gallon sebesar itu. Mantap bukan?

Tarik nafas panjang… Sebut nama Allah… tanyakan, apa yang bisa kau perbuat dengan uang SERIBU RUPIAH dalam dompet lusuh yang dari SMP gak pernah ganti??? Dan dompet itu berada dalam tas yang dari SMP juga gak pernah ganti…

Ya! Benar!  Sedekahkan saja uang SERIBU RUPIAH itu, sekalian sama dompetnya, bila perlu sama tasnya sekalian. Saya pun menancap gas motor yang bensinnya hampir sekarat, hanya untuk mencari pengemis di pertigaan ujung jalan sana. Setelah menyedekahkan uang SERIBU RUPIAH satu-satunya milik saya, betapa gembiranya hati saya terngiang-ngiang doa yang dilantunkan pengemis tadi. Sirna sudah kepedihan akibat cacian para monster-monster rumah sakit. Sirna sudah rasa lapar. Sirna sudah kemarahan akibat dispenser yang raib entah kemana.

“Terima kasih sedekahnya, dek. Semoga jadi makin cantik, makin cerdas, dimudahkan rejekinya, enteng jodohnya, dimudahkan segala urusannya, bisa jadi orang sukses di dunia dan akhirat, punya keturunan yang sholeh-sholehah, bisa KELILING DUNIA………………………………….”

Sebetulnya doa pengemis itu masih panjang, tapi fokus saya hanya pada KELILING DUNIA. Terimakasih, Ibu pengemis, setidaknya Ibu membuka harapan baru bagi saya yang nyaris pupus. Setidaknya, saya masih mampu membayangkan diri saya dan orang-orang yang mencintai saya, sedang sholat subuh di Mesir, sarapan di Turki, sholat Dzuhur dan makan siang di Swiss, lanjut sholat Ashar di Italia, sholat Maghrib dan makan malam di Belgia, sholat Isya’ di Spanyol, dan esok paginya kembali menunggu fajar di benua lainnya, entah Amerika, Australia, boleh juga Afrika…

Terimakasih, Ibu pengemis, setidaknya doa indahmu menandakan kau punya hati. Tidak seperti orang-orang cerdas dan berkedudukan tinggi yang hanya punya otak, tapi hatinya nekrosis. Terimakasih, Ibu pengemis, mungkin lewat Ibu, Allah menitipkan harapan-harapan itu untuk saya. Saya percaya, jika doa ibu diijabah, saya benar-benar bisa KELILING DUNIA dengan SERIBU RUPIAH.

Reqgi First Trasia
Denpasar, 24 September 2013





Komentar

Postingan Populer