Iya, Tidak, Bisa Jadi
Sebetulnya hari ini aku sakit hati sekali. Dan biasanya aku
langsung menuliskannya di blog, tapi kali ini tidak. Aku tidak akan menuliskan
satu kata pun tentang kejadian memilukan ini. Oh, kawan, bukankah wanita yang
baik adalah wanita yang mampu *bla..bla…*? Menutupi *bla.. bla..*? Dan aku
sedang berusaha untuk itu. Memendam walau menyakitkan. Berpura-pura tidak
terjadi apa-apa walau cepat atau lambat luka itu akan kembali menganga. Selalu tersenyum
meski terasa seperti menelan pil pahit. Karena semua orang (termasuk saya)
pasti memiliki masa lalu. Sudahlah… sudahlah… daripada kita berduka,
berlarut-berlarut meratapi pilu, mending sekarang kita bergurau…
Ada yang tau gurauan di acara reality show eat bulaga?
Jika ada satu kata sebagai jawaban, kita harus menebaknya. Si
partner harus memberikan petunjuk dan dijawab dengan “iya”, “tidak”, dan “bisa
jadi”.
Duh, sebenarnya ini posting saya yg paling geje seumur2…
Tanya : Benda?
Jawab : Tidak.. Tidak..
T : Peristiwa?
J : Iya.. Iya..
T : Ada banyak orang?
J : Iya.. iya..
T : pesta ulang tahun?
J : tidak.. tidak..
T : acara sakral?
J : iya.. iya..
T : lamaran?
J : bisa jadi… bisa jadi…
T : pernikahan?
J : IYAAAA…
Halah, apaaa coba. Tapi ini cocok sebagai intro mengenai
pandangan sebagian orang tentang pernikahan. Bahwa pernikahan identik dengan
pesta. Tapi tidak demikian menurut saya. Ketika pesta diadakan dengan begitu
mewah hingga menelan dana ratusan juta hingga milyaran, maka tidak ada yang
mampu menjamin, tidak ada jaminan pernikahan tersebut akan berjalan langgeng. Namun
jika kita menjadikan Allah sebagai jaminan hidup kita, jaminan pernikahan kita,
pasti semua akan baik-baik saja, sekalipun tidak mewah.
Ini bukan tentang lebih tua,
seumuran, atau lbh muda. Ini ttg yg menyeimbangkan hidup dan yg bisa berjalan
beriringan. Yg mmberi kedamaian di hati, kenyamanan di sisi, dan kasih sayang
tiada henti. Tentang tertawa bersama, saling mensupport, mendoakan satu sm
lain, berbicara lepas tak terbatas tanpa berpikir ini pantas atau tdk. Ketika
dunia begitu kejam, dia menjadi tempatmu utk selalu pulang. Yg bisa mmbuatmu sangat sabar dan berusaha mengerti meski
sulit. Menerimamu apa adanya meskipun kamu cuma seadanya. Wajah mungkin tak
rupawan, tapi kebersamaan dengannya itu sesuatu yg kamu yakin harus kamu
perjuangkan. Masa lalunya tidak kamu persoalkan karena tahu itu yg mmbentuknya
sekarang. Kekurangan masing2 adalah tugas bersama utk belajar saling menerima
dan mmperbaiki agar jd lebih baik. Tentang dia yg kamu ikhlas seumur hidup
menjadi makmumnya, membuatmu bangga menjadi ibu dari anak-anaknya...
Satu hal yang seringkali
dilupakan oleh banyak wanita adalah bahwa kemuliaan wanita tidak bergantung
pada laki-laki yang mendampinginya.
Tahu darimana? Allah meletakkan
nama dua wanita mulia dalam Al Quran, Maryam dan Asiyah. Kita tahu, Maryam
adalah wanita suci yang tidak memiliki suami, dan Asiyah adalah istri dari
manusia yang sangat durhaka, Firaun. Apakah status itu mengurangi kemuliaan
mereka? No!
Itulah mengapa, bagi wanita di
zaman Rasulullah dulu, yang terpenting bukan mendapat jodoh di dunia atau
tidak, melainkan bagaimana memperoleh kemuliaan di sisi Allah.
Bicara jodoh adalah bicara
tentang hal yang jauh: akhirat, surga, ridha Allah, bukan semata-mata dunia.
Jodoh itu sudah tertulis. Tidak
akan tertukar. Yang kemudian menjadi ujian bagi kita adalah bagaimana cara
menjemputnya. Beda cara, beda rasa. Dan tentu saja, beda keberkahannya.
Dalam hal rezeki, urusan kita
adalah bekerja. Soal Allah mau meletakkan rezeki itu dimana, itu terserah
Allah. Begitupun jodoh, urusan kita adalah ikhtiar. Soal Allah mau
mempertemukan dimana, itu terserah Allah.
Cara Allah memberi jodoh
tergantung cara kita menjemputnya. Satu hal yang Allah janjikan, bahwa yang
baik untuk yang baik. Maka, mengupayakan kebaikan diri adalah hal utama dalam
ikhtiar menjemput jodoh.
Dalam urusan jodoh, ta'aruf
adalah proses seumur hidup. Rumus terpenting: jangan berekspektasi berlebihan
dan jangan merasa sudah sangat mengenal sehingga berhak menafsirkan perilaku
pasangan.
Salah satu cara efektif
mengenali calon pasangan yang baik adalah melihat interaksinya dengan empat
pihak, yakni Allah, ibunya, teman sebayanya, dan anak-anak.
Bagaimana jika ada pria yang
datang pada wanita, menyatakan rasa suka, tapi meminta ditunggu dua atau tiga
tahun lagi? Perlukah menunggu?
Sabar itu memang tidak ada
batasnya. Tapi ada banyak pilihan sabar. Silakan pilih. Mau sabar menunggu,
atau sabar dalam merelakannya. Satu hal yang pasti, tidak ada jaminan dua tiga
tahun lagi dia masih hidup. Pun tidak ada jaminan kita bisa menuntut jika dia
melanggar janjinya, kecuali dia mau menuliskan janjinya dengan tinta hitam
diatas kertas putih bermaterai.
Bagaimana jika ada pria yang
jauh dari gambaran ideal seorang pangeran tapi shalih datang melamar? Bolehkah
ditolak?
Tanyakan pada hatimu: Mana
diantara semua faktor itu yang paling mungkin membawamu dan keluargamu ke surga?
Reqgi First Trasia
Dari berbagai sumber
Denpasar, 14 Agustus 2013
Komentar