Yang Terpilih
Yang Terpilih
Malam itu aku menghadiri sebuah acara Launching buku
antologi puisi di gedung kesenian Bendaya. Sepulang halaqah, ditemani gerimis romantis,
aku lajukan kendaraan dengan rasa tak sabar. Bukan karena buku yg diterbitkan,
pun bukan karena penulisnya, tapi aku senang akan bayangan peristiwa “Launching
Buku”.
Sesampainya di Bendaya, ternyata aku terlambat. Maklumlah,
aku tak bisa mengendarai motor sendiri di malam hari dalam kondisi gerimis.
Ini adalah untuk pertama kalinya aku menghadiri acara
Launching buku. Langkahku di pintu ruangan terhenti ketika menyadari bahwa aku
satu-satunya yang berjilbab disini. Terhenti ketika aku merasakan kenangan masa
lalu. Kenangan semasa aku masih mungil, sekitar TK atau SD. Dulu, aku sering
masuk ke ruangan dengan atmosfer seperti ini, ketika aku dibawa ibu ke gedung
pertunjukan di kampusnya, ketika aku dibawa Ayah ke gedung kesenian Surabaya
untuk menonton aksinya membaca puisi, aksinya sebagai aktor, atau hanya sekadar
melihatnya mengarahkan pemain, maklumlah dia seorang sutradara teater saat itu.
Suasananya sama persis. Ruangan raksasa dengan panggung pertunjukkan yang
gagah.
Bismillah, aku melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Sejenak semua
mata tertuju padaku. Selain karena aku terlambat, mungkin karena penampilanku
yang jauh berbeda dengan mereka. Ya, para seniman dan penikmat seni itu
berpenampilan seadanya. Sedangkan aku (yang baru pulang halaqah) berpenampilan
semi-formal. Sudahlah, aku tak peduli. Aku justru sengaja berjalan di antara
mereka untuk mengambil tempat duduk terdepan.
Setelah launching dan tanya jawab usai, para peserta
launching (yang sudah membeli bukunya) segera menyambar si penulis untuk minta
tanda tangan di halaman depan buku. Aku yang tak punya uang untuk membeli buku
antologi puisi itu hanya bisa termenung memandang satu adegan yang sangat ku
impikan. Adegan dimana aku yang duduk di kursi itu dan menandatangani buku-buku
karyaku. Ya, aku sangat ingin menjadi seorang penulis. Tak harus terkenal,
cukup hanya bisa menginspirasi dan aku ingin mendapatkan doa dari para
pembacaku. Itu saja.
Sesaat lamunanku terhenti karena dering SMS. Aku buka SMS
itu “InshaAllah, Gi, InshaAllah. Aku berusaha sebaik mungkin untuk menjaga agar
proses ini berkah untuk kita berdua….”
Hmm, aku hela nafas panjang. Ya, dulu aku bermimpi minimal
aku punya satu buku hasil karyaku pribadi yang diterbitkan sebelum aku menikah.
Agar pada saat menikah, aku bisa hadiahkan buku itu (sebagai souvenir) pada
pihak-pihak di luar keluarga yang berperan besar dalam menyukseskan
pernikahanku. Tapi sepertinya impian hanya sekadar impian. Mustahil rasanya
jika karyaku diterbitkan dalam jangka waktu yang singkat (menjelang
pernikahan), terlebih lagi Ibu selalu bilang bahwa karya-karyaku memang belum
layak untuk diterbitkan. Dan sepertinya satu impian (ini) harus di-cut. Terlebih
lagi kesibukan koas yang tak bisa kompromi dengan keinginanku untuk merevisi
novel dan puluhan cerpenku. Ya sudahlah, aku sudah menjadi “yang terpilih” oleh
Allah untuk sebuah rencana agung bernama pern*k*han. Aku pun sudah menjadi “yang
terpilih” olehnya. Ya, dia yang seharusnya punya banyak pilihan, malah justru
memilih aku yang jauh dari sempurna sebagai calon pendamping. Tapi aku
bersyukur menjadi “yang terpilih”, meski sebenarnya aku juga punya lebih banyak
pilihan darinya, aku tetap memilih dia. Mengapa? Ya, karena dialah “yang
terpilih”
Reqgi First Trasia, S.Ked
Karangasem, 14 Juni 2013
Komentar