Semenjak Koas
“Kak Reqgi kok senyumnya beda semenjak koas?”
Pertanyaan diatas terasa begitu mengejutkan ketika diarahkan
oleh adik tingkatku. Mungkin memang benar, kehidupan koas yang baru berjalan
beberapa bulan ini amat mengubah drastis kehidupanku. Banyak orang bilang
selalu ada kebahagiaan yang terpancar ketika aku tersenyum, tapi kini tidak. Aku
tak tahu penyebabnya. Entah pahit atau perih.
Huff, sudahlah. Entah sudah berapa abad aku tak curhat
seperti ini di blog. Memanglah segalanya tentu lebih dahulu ku curhatkan pada
Allah, tapi tak ada salahnya kan kalau aku juga bercerita di sini?
Sejujurnya aku tak tahu ingin menulis apa sekarang. Bisa dibilang
cuma ketik-ketik biasa, tanpa makna, tanpa maksud dan tujuan. Hanya sekadar
untuk mengembalikan senyumku yang belakangan mulai hambar. Karena dengan
menulis, aku terhibur.
Dulu, setiap kejadian unik dan menarik, selalu aku tulis
dalam buku harian. Kemudian, jika ada waktu luang, aku selalu menuliskannya di
blog. Tapi semenjak koas, dari berjuta kejadian unik dan menarik, satu pun
kadang tak sempat ku tulis dalam buku harian. Tak ada waktu, apalagi waktu
luang.
Aku sadar bahwa sebenarnya hidupku super indah, walau
belakangan aku banyak menyimpan rahasia. Rahasia bahwa aku sering berbohong
pada teman-teman yang ngajak makan. Aku selalu katakan “Sorry, aku masih
kenyang” atau “Aku belum laper” atau “Kamu duluan aja deh, nanti aku nyusul”.
Padahal sebenarnya bukan itu. Aku tak punya uang untuk mengisi perut. Belakangan
aku lebih sering makan 1 kali dalam sehari. Untuk penghematan. Sebab sudah
lebih dari satu tahun Ayah tidak bekerja. Kami sekeluarga hidup sekadar hidup. Aku
tak ingin menyalahkan Ayah atau menyalahkan keadaan, bahkan menyalahkan Allah. Aku
terima saja semua ini sebagai bentuk penguatan diri. Biar saja berat badanku kini
hanya tinggal 44 kg. Biar saja…
Rahasia bahwa aku sering berbohong pada Ayah dan Ibuku. Aku selalu
katakan “Tenang saja, Bu. Uangku masih banyak” atau “Barusan aku makan enak
banget, Bu” atau kebohongan lain. Padahal sebenarnya uang di dompet hanya
tinggal 9000.
Bahkan aku menginap berhari-hari di luar kota sebab aku tak
punya uang untuk beli bensin agar bisa kembali ke Denpasar.
Dan apakah para residen itu tahu? Apakah para dokter itu
tahu? Apakah para perawat itu tahu? Bahwa dokter muda yang mereka jadikan babu
ini belum makan bukan karena nafsu makannya hilang, tetapi karena tak punya
uang untuk makan…
Aku kadang sengaja menepuk-nepuk perutku dengan keras agar
bunyi keroncongan dalam perut tidak terdengar oleh orang sekitar.
Kalau sudah begini, aku merasa tak layak untuk membahas hal
lain. Pikiran, hati, dan perbuatanku hanya terfokus pada sholat, koas, sholat,
koas, sholat, koas. Berputar di situ-situ saja. Termasuk ketika ada yang
bertanya soal esai, cerpen, organisasi, aku tak bisa memberikan yang terbaik. Apalagi
kalau ditanya soal jodoh. Haduuuh, ini yang dibahas oleh adik-adik mentoringku
kemarin.
Oalah, jangankan soal jodoh, soal nulis blog saja aku gak
sempat. Ngurus organisasi saja aku gak sempat, apalagi ngurus dan berpikir ke
arah jodoh. Jauh, jauh, jauh banget dari angan-angan.
Aku tak pernah marah pada orang yang mengatakan, “Salah
sendiri, waktu itu dilamar berkali-kali sama si A, si B, si C, dll malah
ditolak. Pake alasan mau jadi dokter dulu lah. Alasan mau lulus spesialis dulu
lah. Nah sekarang jadi gak laku kan salahmu sendiri.”
Sungguh, aku tak pernah marah. Anjing menggonggong, kafilah
berlalu. Terserah mereka mau bilang apa. Yang jelas aku memang belum ingin
menikah, bahkan kini aku tak ingin. Kenapa? Oh, kawan, tak usahlah berpura-pura
tidak tahu dengan bertanya “Kenapa?” Sebab jawabannya sudah jelas.
Sudah jelas : aku tak pantas untuk siapapun. Untuk siapapun.
Lihat saja kondisiku sekarang? Dengan waktu yang terbatas, dengan senyum yang
hambar, dengan tubuh kurus kering, juga dengan segala bentuk keterbatasan fisik
dan finansial, nyaris mustahil rasanya untuk berbicara ke arah yg jauh. Terima saja
hidup ini dengan syukur. Beres.
Astagfirullah. Ampuni aku ya Allah. Segala keluhan di atas
sebetulnya menandakan bahwa aku sedang tidak bersyukur. Astagfirullah…
Tapi benar. Jika memang demikian, aku tak ingin menikah. Sebab
menikah hanya akan menguras waktu, pikiran, tenaga, dan uangku untuk mengurus
yang namanya ‘keluarga baru’, sementara dengan kondisi keluargaku seperti ini, aku masih harus membiayai adik2ku sekolah,
menambah modal untuk dagangan ibuku, menyambung hidup keluargaku dengan
makanan, tagihan air, tagihan listrik, sandang-pangan-papan, macam-macam deh.
Jadi aku seharusnya bersyukur bila tidak ada yang
menginginkanku seperti dulu. Itu artinya aku tak perlu menyakiti hati siapapun
dengan penolakan-penolakan.
Sudah. Sudah. Sudah. Sekarang kita kembali pada kehidupan
koas yang indah. Yuk mari…
Reqgi First Trasia, S.Ked
Gianyar, 10 Mei 2013
Komentar