Merawat Kenangan 1
Merawat Kenangan
Hari ini sebenarnya aku tak ingin menulis apa-apa. Hanya ingin
merawat kenangan, meresapi bulir demi bulir kerinduan padanya.
Cukup sebenarnya. Cukup aku merasa jijik pada diriku sendiri
atas masa lalu yang membelenggu. Perasaan jijik itu muncul ketika ada saja
orang2 di luar sana (di dunia maya) yang tak ku kenal, mengungkit-ungkit
tentang betapa bobroknya orang yang pernah pacaran. Bahwa sekalipun sekarang
sudah gak pacaran, tetap saja aku punya noda historis. Tidakkah kalian semua
puas melihat aku berkali-kali mandi agar aku merasa sedikit bersih? Lihatlah,
apa yang kalian suarakan itu seolah-olah membuat aku menjadi satu-satunya orang
yang tidak Allah ampuni dosanya. Rasanya beribu istigfar tak akan sanggup
membuat kalian berhenti menghakimi hatiku.
Aku tahu letak kesalahanku adalah aku memaksakan jalan
cerita yang tidak tepat. Tapi sungguh, jika dulu aku hanya sekadar ngobrol di
telepon, SMSan, chatting, itu sudah kalian sebut zina hati. Lantas pertemuanku
dengannya yang hanya 3 kali seumur hidup itu juga kalian sebut zina, silakan,
silakan cambuk saya seratus kali, lantas berhenti mencibir saya, menyindir
saya, mencari-cari kepingan masa lalu saya. Berhenti! Saya sudah cukup tersiksa
dengan itu semua.
Tuh kan, aku mengubah kata ‘aku’ menjadi ‘saya’.
Duhai sobat, andai kalian bisa raba hatiku yang berdungkul
ini. Kalian tentu masih dapat merasakan potongan hati yang tersimpan rapi untuk
merawat kenanganku bersamanya. Aku tahu, aku tak pandai menyulap apa yang aku
rasakan menjadi sebuah paragraph indah. Aku hanya menuliskannya sesuai apa yang
aku resapi.
Salah kalau kalian menduga aku masih mengharapkannya
kembali. Salah kalau kalian mengira aku ingin flashback masa lalu, beradegan
ulang dengan memori-memori penuh warna. Salah kalau kalian menganggap aku cari
muka padanya. Aku hanya sekadar ingin memastikan kalau dia baik-baik saja.
Dengan begitu, apa bisa disebut ‘masih cinta’? aku sendiri
tak tahu. Sungguh, bukan akulah pemilik hati ini. Allah-lah yang lebih tahu apa
aku masih mencintainya atau tidak.
Aku muak bicara cinta, tapi aku juga muak dengan mereka yang
tiap detik membuatku merasa tak pantas hidup di dunia ini.
Aku sudah mengakhiri hubunganku dengannya sekitar satu
setengah tahun yang lalu, seperti yang kalian mau kan? Mencari-cari pembenaran
atas keputusanku, seperti yang kalian mau kan? Lantas sekarang kalian mau apa
lagi? Setelah aku jungkir balik, jatuh bangun, mengikhlaskan perpisahanku
dengannya, kalian malah tak mendukung aku yang sudah berusaha manapaki jalan
yang kalian pilih.
Duhai sobat, aku tak peduli dia masih mencintaiku atau
tidak. Aku tak peduli dia kini sedang bersanding dengan siapa. Aku tak peduli
posisiku dalam hatinya. Sungguh, itu bukan urusanku. Aku hanya ingin dia
baik-baik saja, apapun kondisinya. Memang ini juga bukan urusanku, tapi biarlah
ada sedikit rasa lega di hatiku ketika aku berdoa agar dia selalu bahagia
dimanapun dia berada, dengan atau tanpa aku. Nah, lalu apakah perasaan lega ini
bukan menjadi urusanku? Tentu tidak kan?
Walau takdirku dan takdirnya nanti akan berbeda, meski
kesedihan itu akan datang memukul hati, aku akan bangkit dengan senyum setegar
baja. Percayalah. Jadi biarkan aku merawat kenangan ini.
Sekali-dua luka itu hanya terkoyak jika malam tiba.
Kesedihan itu hanya datang saat sepi menggantung di gelapnya pantai Kuta.
Sekali-dua kepiluan itu menyelusup diam-diam dalam hati. Membuat aku tersungkur
lagi, mengeluh lemah, tertelungkup di atas tempat tidur. Tidur telentang
menatap langit. Bulan menghias angkasa. Bintang gemintang mengukir namanya.
Mungkin aku harus punya hati yang lapang. Kalau kau punya
hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur
deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya. Termasuk kesedihan karena
cemburu, iri, atau dengki dengan kebahagiaan orang lain.
Tapi sungguh, Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau
setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh
jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda
bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap,
padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah hari-harimu jadi
buram, padahal dunia sedang terang benderang.
Kita tidak pernah tahu masa depan. Dunia ini terus berputar.
Perasaan bertunas, tumbuh mengakar, bahkan berkembang biak di tempat yang
paling mustahil dan tidak masuk akal sekalipun. Perasaan-perasaan kadang
dipaksa tumbuh di waktu dan orang yang salah. Seperti aku.
Perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan
dua, bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap
indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah
perasaan.
Begitulah kehidupan ini, kau tidak pernah berhak bertanya
atas keputusan Tuhan. Kita mengenal kehidupan demokratis, kebebasan memilih,
kebebasan keinginan, diajarkan langsung olehNya melalu kitab suci, tapi
ironisnya justru tidak ada kata demokratis, tidak ada kesempatan memilih dengan
takdir miliknya. Kau tidak berhak protes. Tidak sama sekali! Setiap kali kau
protes, maka seseorang akan mengingatkan bahwa Tuhan Maha Adil. Ya, Tuhan Maha
Adil. Sebab kita terlalu bebal, maka kitalah yang tidak tahu dimana letak
keadilannya. Tidak tahu apa maksudnya. Kalau kita tidak pernah mengerti, itu
jelas karena kita terlalu bodoh, bukan berarti Tuhan tidak adil. Tuhan selalu
benar. (Tere Liye)
Anggaplah aku dan dia kini sedang saling rindu (meski itu
tak mungkin). Kami saling rindu, tapi sama-sama takut akan kemungkinan sebuah
pertemuan.
Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh
hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan
hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun
mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi, mana simpul yang nyata dan
mana simpul yang dusta.
Orang-orang yang sedang jatuh cinta memang cenderung
menghubungkan satu dan hal lainnya. Mencari-cari penjelasan yang membuat
hatinya senang. Tetapi aku sudah memutuskan mana simpul yang nyata serta mana
simpul yang hanya berasal dari ego mimpiku. Dan itu tidak sulit, sepanjang aku
berpikir rasional. Dia tidak pernah mencintaiku. Tidak pernah.
Jadi sobat, berhentilah menghujatku. Biar ini jadi pelajaran
buatku. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus
mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang
tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang.
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.
Keheningan makin menjadi-jadi karena satu-satunya cahaya di
halaman belakang ini hanyalah pantulan sinar bulan dari langit yang melengkung
bersungkup kelam. Sudah ku bilang, aku tak mengharapkannya hadir kembali, sebab
harapan berlebihan niscaya melahirkan rasa kecewa. Aku tak peduli siapapun
gadis yang dia mau. Aku tahu dia pandai, tak mungkinlah dia cari yang sama
sepertiku, tentu dia akan menemukan yang lebih baik.
Aku berusaha membunuh setiap pucuk perasaan itu. Tumbuh satu
langsung ku pangkas. Bersemai satu langsung ku injak. Menyeruak satu langsung
ku cabut tanpa ampun. Aku tak pernah memberikan kesempatan untuknya tumbuh. Tapi
lihatlah, aku masih tak bisa membunuh perasaan ini, meski sudah satu setengah
tahun berlalu.
Aku yakin bahwa setia adalah pekerjaan yang mulia.
Reqgi First Trasia
Denpasar, 21 Februari 2013
Terinspirasi dari novel-novel Tere Liye dan Lagu Ari Lasso “Lirih”
Komentar