Aku dan 21 Tahunku
Terimakasih untuk Ibuku yang rela berjam-jam antri di
Indonesian Book Fair (Istora Senayan) demi mendapat tanda tangan Tere Liye,
yang sebenarnya tak pernah ku minta, tapi aku tahu Ibu punya niat lain. Tanpa
bermaksud mendewakan Tere Liye sebagai penulis novel best-seller, Ibu hanya
punya obsesi tersembunyi yang hendak ditransfer ke anak sulungnya ini. Mungkin
Ibu ingin suatu saat nanti aku duduk di kursi Tere Liye itu dan menandatangani
buku-buku karyaku (Amin Allahuma Amin) yang disodorkan oleh para pembaca.
Hampir setiap cerpen yang ku berikan pada Ibu, Ibu selalu
bilang, “Ah, jelek!”. Sebagai orang yang berlatarbelakang sastra, Ibu menilai
karya-karyaku masih mentah. Ibu berkata demikian bukan berarti mematahkan
semangat putrinya atau bahkan menghina. Bukan pula terlalu jujur mengatakan
bahwa aku tidak berbakat. Ibu mencela karyaku karena Ibu tahu perangai anaknya
yang koleris. Ibu tahu bahwa semakin aku dicela, maka semakin melonjak gairahku
untuk menulis. Benar, hinaan-celaan-ejekan-kritikan adalah ibarat pemantik api
yang justru mengobarkan semangatku agar semakin membara. Ibu ingin aku menjadi dokter
yang gemar menulis dan menyebarkan kebaikan.
Terimakasih untuk Ayahku yang rela mengantar Ibu ke Istora
Senayan dan menunggu Ibu yang sedang antri. Jujur, caci maki senior FK atau
senior SMA yang ditujukan padaku saat OSPEK masih kalah sadis dengan kata-kata
Ayah saat marah. Soal menusuk hati, Ayah tiada duanya. Tapi lagi-lagi itu
dilakukan Ayah bukan untuk menjatuhkan mental putri sulungnya, melainkan justru
untuk MEMBENTUK mental putrinya. Ayah mendidikku laksana tukang-tukang gerabah
memperlakukan tanah liat, semakin dipukul, semakin dibanting, semakin dibakar,
tanah liat akan menjadi guci yang padat, kuat, kokoh, tak mudah retak, atau
bahkan rapuh.
Terimakasih untuk Zenia dan Kaisar yang selalu apa adanya
menilaiku. Mereka bilang aku nenek lampir, putri MuDu (muka dua), sok jaim, gak
asyik, egois, dll. Terimakasih, justru dari situlah aku tahu apa yang harus aku
ubah dari diriku, hingga aku menjadi seperti Reqgi saat ini.
Terimakasih untuk Tere Liye yang menandatangani
buku “Sepotong Hati yang Baru” sebagai kado ultahku dengan menuliskan “To :
Reqgi FT, Selamat Ulang Tahun ke 21, 7 Desember 2012, Kamu punya Ibu yang baik
sekali, Tere Liye – Jkt – 18 Nov”
Terimakasih Bang Tere Liye sudah cukup kooperatif mau
menuliskan tanggal 7 Desember 2012, hehe… Semoga aku juga bisa menemukan sepotong hati yang baru seperti
judul novelnya *heleeeh, prettt #kode :p
Sekali lagi terimakasih untuk kedua orang tuaku.
Saat orang tua lain memberi I-Phone, I-Pad, mobil baru,
jalan-jalan ke luar negeri, sebagai kado ultah anaknya, orang tuaku memberiku
novel-novel ini untuk mengasah perbendaharaan kata, sekaligus menjadi bekal
agar aku bisa lebih produktif menelurkan karya-karyaku.
Saat orang tua lain mengatakan “Hati-hati bawa mobil…”,
orang tuaku mengatakan “Hati-hati bawa diri…”
Saat orang tua lain mengatakan “Uang bulanan yang mama kirim
cukup ga?”, orang tuaku mengatakan “Jangan lupa sebagian uang bulanan yang Ibu
kirim, disedekahkan!”
Saat Ibu lain menyuruh “Jangan begadang, jangan tidur
terlalu malam.”, Ibuku mengatakan “Jangan lupa bangun malam, jangan ditinggal
tahajudnya!”
Saat Ayah lain mengatakan “Ingat, sebagai pewaris kekayaan
Papa, kamu harus pintar, Papa sudah sediakan banyak relasi yang bisa menunjang
karirmu sebagai dokter,”, Ayahku mengatakan, “Ingat, sebagai pewaris generasi
bangsa ini, kamu harus jujur, Ayah sudah mewanti-wanti kamu agar menjadi satu
dari sepuluh pemuda yang diharapkan Soekarno mampu mengguncang dunia!”
Saat orang tua lain menanamkan deposito (tabungan) untuk
masa depan anaknya, orang tuaku justru menanamkan moral untukku dan untuk
adik-adikku.
Terakhir, terimakasih buat Rozaq yg tepat di 7 Desember ini, dia jd orang pertama yg mengucapkan "Happy Milad" :) Makasih, sobat...
Reqgi First Trasia
Denpasar, 7 Desember 2012
Berdasar Pengalaman Pribadi dan Genangan Air Mata Saat
Merangkai Kata-kata Diatas
Komentar