Masih Seperti yang Dulu


Masih Seperti yang Dulu

Hari ini dia datang. Dia? Siapa dia? Ah, tak perlu lah ku sebutkan. Pokoknya dia!
Dia terlihat berbeda hari ini. Seulas senyum yang tersungging dari bibirnya mengingatkan aku bahwa aku juga pernah merasa ada sesuatu yang berbeda ketika melihat senyum itu saat SMA dulu.
Dia terlihat berbeda hari ini. Kami bicara banyak tentang kehidupan yang telah dua tahun kami lewati tanpa saling bertemu. Aku tersenyum pula. Aku bahagia. Entah, sepertinya sudah lama sekali aku tak mencicipi rasa gembira dengan tipe seperti ini.

Setelah ia pulang, aku membuka obrolan dengan Ayah dan Ibu.
Ayah : Dia kelihatan beda ya…
Ibu : Iya, sangat berbeda dibandingkan saat SMA dulu dia datang ke sini…
Ayah : Dia cukup tampan…
Aku : Menurutku sih biasa aja…
Ayah : tapi tentu ada yang tidak biasa dalam hatimu saat ini.
Aku hanya mengulum senyum tipis hambar.
Ibu : Jangan membohongi diri sendiri…
Ayah : Apa dia sudah punya pacar?
Aku : Sepertinya belum.
Ayah : Kenapa dia tidak segera melamarmu?
Aku : Bodoh namanya kalau dia masih menyukaiku. Gadis2 UI tentu jauh lebih hebat, tentu dia akan lebih memilih mereka. 

Sejenak teras rumah yang kami duduki sunyi. Hanya langit malam dan sedikit taburan bintang yang bengong menyaksikan percakapan kami. Hey, tunggu! Bulan terlihat bundar di atas sana. Bundar sempurna! Sesempurna kebahagiaanku saat ini. Ups, benar kata Ibu. Aku tak boleh membohongi perasaanku sendiri.

Aku : Sepertinya aku butuh tidur. Aku naik dulu ke atas.

Ucapku memecahkan keheningan sambil beranjak dari dudukku.

Di dalam kamar, sebelum tidur, aku termenung. Aku bukan wanita ideal. Wanita yang ideal bagi setiap laki2 muslim adalah mereka yang berparas cantik, kaya, dari keluarga baik2, dan punya pemahaman agama yang baik. Aku? Rasanya aku cuma punya poin ke tiga.

Aku sadar aku tidak cantik, tapi aku mensyukuri apa yang telah Allah berikan. Ini bicara realita. Bukalah kacamatamu dan pandang aku baik2, sama sekali tak ada goresan keindahan dalam setiap lekuk wajahku.

Aku sadar aku tidak kaya, tapi aku berusaha untuk kaya. Apa yang selama ini dinilai orang bukanlah milikku, tapi milik kedua orang tuaku. Hmm, lebih tepatnya semua itu milik Allah.

Aku sadar pemahaman agamaku masih sangat dangkal. Ya, hanya sekadarnya saja.

Aku tahu, aku tak layak mendampinginya, walau sebenarnya aku…………………… ah, aku malu menuliskannya. Aku memang akan berusaha untuk memantaskan diri agar terlihat setara dengan pasanganku nanti, siapapun dia. Tapi adakah yang mau dengan gadis sepertiku? Aku tidak pandai memupuk rasa percaya diri ketika bicara soal cinta, walau aku pandai membesarkan hati para akhwat yang mungkin punya kegalauan serupa.

Aku katakan pada para akhwat: Kita ini sama, sister. Kita tergolong tipe menantu idaman semua orang tua. Karena itu kita sebenarnya juga punya potensi sebagai istri idaman setiap ikhwan. Tapi kita ditakdirkan bukan tipe idaman para laki-laki. Mereka tentu tergila-gila pada gadis2 yang pandai bermain piano. Bukan gadis pandai, rajin baca buku macam kita ini. Para pria kesengsem dengan dengan gadis berparas cantik yang hobi ke salon. Bukan pada yang berjilbab rapi. Mereka jatuh hati pada gadis yang manja. Bukan pada gadis dengan IPK diatas 3,6. Termehek2 pada gadis gaul, bukan yang serius merencanakan hidup. Tapi suatu hari nanti mereka akan menyesal. Mereka salah pilih karena ternyata yang mereka taksir bukanlah kualitas istri idaman. Tapi kitalah, kitalah yang sebenarnya berkualitas wanita2 unggul. Kita seperti sedang menyamar. Sayang sekali mereka itu tidak tahu. Rugilah mereka. It’s their loss, not ours.

Aku memang lihai membangkitkan gairah semangat para akhwat itu agar mereka tak terseret dalam arus kegelisahan yang menerpa hidup mereka, tapi sepertinya hal itu tak mampu ku terapkan pada diriku sendiri. Aku bahkan tidak pernah merasa sebagai menantu idaman semua  orang tua. Pandai pun aku sebenarnya tidak. Kepandaianku biasa2 saja. Aku juga ragu apakah benar aku memiliki kualitas sebagai istri idaman? Yang sepertinya sesuai dengan apa yang  aku utarakan pada mereka adalah poin merencanakan hidup. Ya, kalau soal merencanakan hidup, aku tak pernah main-main. Aku terkadang merasa aneh pada diriku sendiri. Betapa aku bukanlah wanita yang ideal, tapi dia (dia yang datang ke rumahku hari ini) sepertinya adalah laki-laki yang ideal (mungkin). Itulah mengapa aku mengikhlaskan jika memang ia mencari gadis yang juga ideal untuknya. Cukup, saatnya tidur!

Reqgi First Trasia
Tangerang, 1 September 2012

Komentar

Postingan Populer