hanya mimpi

Aku benar-benar tak menyangka dia akan pergi secepat ini. Terkadang memang perasaan tak adil menggelayuti pikiranku. Kisah ini berawal dari sebuah SMS basa basi yang dia kirim saat masih SMA, berlanjut menjadi cinta monyet. Memang kini dia telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa, menghadapNya dalam usia yang masih sangat belia. Sekitar 2 tahun kami melakoni cinta monyet itu (ya, dia menganggap ini cinta monyet, sedangkan aku tidak). Kami memutuskan untuk pisah karena aku terlalu pencemburu. Setelah itu, kami sibuk dengan dunia kami masing-masing. Dia sibuk dengan tugas-tugas berselimut almamater kuning dan aku sibuk dengan pasien-pasienku. Kami lose contact. Karena saat itu aku emosi, aku hapus dia dari friendlist facebook, betul-betul kekanak-kanakan aku. Aku hapus dia dari phonebook handphone. Aku ingin lupakan dia, walaupun berat, sulit.
Pertemuan kami yang terakhir adalah saat liburan semester kemarin. Ya, terakhir, karena dia telah tiada. Aku hanya bisa mencium wangi kamboja dari makamnya. Beberapa minggu sebelum malaikat merenggut nyawanya, aku mencoba menghubunginya kembali. Aku sadar, silaturahmi tak boleh diputus. Aku SMS dia, balasan datang lama sekali, itupun dengan alasan kejar deadline, tugas yang beda dari sebelumnya, kuliah yang padat, dan masih banyak alasan lain. Intinya, dia menghindar dariku. Entah, aku salah apa. Aku coba telephone dia, diangkat, lalu ditutup dengan alasan mau sholat ashar. Dia betul-betul menghindar. Mungkin dia takut aku akan membersitkan kata ‘balikan’, padahal tidak! Aku tidak akan meminta ‘balikan’. Aku hanya ingin pertemanan tetap terjalin, itu saja.
Jika dilihat dari sampulnya, sepertinya dia bukan lagi laki-laki yang kukenal dulu, kini dia memposisikan dirinya dalam kesombongan. Biarlah, aku biarkan dia dengan dunianya. Teruskan saja segala kesibukanmu, batinku. Hingga sampai suatu saat aku mendapat berita dari seorang kawan bahwa dia sudah tenang di alam sana. Runtuh rasanya atap kamarku mendengar kabar itu. Aku langsung terbang ke Jakarta. Aku datangi rumahnya. Untung aku belum terlambat, karena jenazahnya hendak dikuburkan. Aku buka penutup jenazah, aku lihat kembali wajahnya. Sulit rasanya membendung air mata ini, tapi aku harus bisa. Aku tak mau airmataku mengiringinya dalam kubur.
Jenazahnya diangkat. Aku turut mengantarnya sampai pemakaman. Saat hendak diturunkan ke liang lahat, aku benar-benar tak kuasa menahan histeris air mata ini, aku katakan, “Aku masih...”. Tali pocongnya dibuka. Dari atas aku melihatnya diposisikan ke arah kiblat. Teringat kembali masa-masa indahku bersamanya. Walaupun belakangan dia sangat tidak memedulikan aku, bahkan tidak menganggap aku ada, kenangan itu tak akan pernah terhapus. Teringat saat dia menemaniku ke Gramedia, saat kami makan bubur ayam bersama, saat dia menungguku di Pizza Hut, dan masih banyak kenangan lain yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu, terutama saat dia selalu menggunakan kata “Uhibbuki” di setiap akhir SMS.
Ah, mengapa di dunia ini harus ada kata ‘kenangan’? jenazahnya telah terbenam tanah. Aku bersimpuh di samping makamnya. Aku katakan padanya,”Aku tahu jelas bahwa kau sama sekali tak pernah mencintaiku. Aku tahu jelas bahwa aku sama sekali tak pernah ada di hatimu. Aku tahu jelas bahwa aku ini bukan wanita yang kau idamkan. Tapi semua itu tidak menjadi soal bagiku, yang terpenting adalah aku beruntung sempat mengenalmu. Kau cukup banyak memberiku pelajaran hidup. Aku jadi tahu bagaimana rasanya diacuhkan. Kau jangan khawatir. Tenanglah kau di alam sana, doaku tak akan pernah putus untukmu sekalipun komitmen telah berakhir.”
Aku tebarkan bunga. Aku beranjak meninggalkan makamnya. Baru beberapa langkah, dia menahanku. Mencium keningku. “Kembalilah, mas…” ujarku.”Ini bukan duniamu lagi.”

Reqgi First Trasia
Disela-sela kesibukan menjelang Ujian Block Medical Professionalism
3 April 2010

Komentar

Postingan Populer