Me"muda"kan Pemikiran Islam bersama Bung Karno

Judul buku : Bung Karno dan Wacana Islam
Penulis : Ir. Soekarno
Penerbit : PT Grasindo
Tahun terbit : Jakarta, 2001
Tebal : 450 halaman
Ukuran : 15 cm x 23 cm
Harga : Rp 90.000,00


Siapa yang tidak mengenal Bung Karno? Seorang pemimpin cerdas yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Seorang penggali Pancasila dan Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Pemikiran-pemikiran beliau tidak bisa diragukan lagi, sungguh hebat, mengagumkan dan membuat isi dunia ini berdecak kagum. Sudah banyak buku tentang pemikiran-pemikiran Islam, tapi semua itu tidak sebanding dengan pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang Islam, baik yang ditulis dalam bentuk surat maupun ucapan-ucapannya saat memberikan amanat. Buku ini merupakan surat-surat Bung Karno dan amanat serta pidato beliau khususnya dalam memperingati hari-hari besar Islam ketika beliau menjadi Presiden RI.
Buku ini ditujukan pada para pemuda yang sungguh-sungguh ingin mempelajari atau sebagai referensi kajian-kajian yang relevan. Sebagai contoh, pemikiran yang bisa dijadikan referensi antara lain tulisan Bung Karno yang menyatakan bahwa tidak ada halangannya nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan kaum islamis dan marxis. Menurut beliau, Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajiban nasionalis pula. Paham nasionalisme, islamisme dan marxisme bisa disatukan asal kita yakin bahwa persatuan yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan. Kita yakin bahwa walaupun pikiran kita itu tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, persatuan tetap bisa tercapai, tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu.
Salah satu hasil wawancara koresponden “Antara” dengan Bung Karno sehubungan dengan artikel yang berisi tentang hukum tabir. Bung Karno mengang gap bahwa tabir itu adalah symbol perbudakan perempuan. Keyakinan beliau, bahwa Islam tidak mewajibkan tabir itu. Islam tidak mau memperbudak perempuan. Sebaliknya, Islam mau mengangkat derajat perempuan. Tabir adalah salah satu contoh dari hal yang tidak diperintahkan oleh Islam, tetapi diadakan oleh umat Islam. Bung Karno menolak suatu hukum agama yang tidak nyata diperintah oleh Allah dan Rasul. Saat koresponden “Antara” mengatakan bahwa boleh jadi tabir itu dianggap sebagai suatu alat supaya lelaki dan perempuan tidak berpandangan satu sama lain. Bung Karno tidak menyalahkan anggapan itu, tapi beliau mengatakan bahwa itu suatu hal yang ganjil. Beliau memberikan suatu tamzil (analogy): Allah melarang orang mencuri. Kenapa semua rumah tidak ditutup rapat saja, agar orang tidak bisa mencuri? Atau Allah melarang orang berdusta. Kenapa tidak kita jahit saja mulut kita supaya kita tidak berdusta? Begitulah duduknya dengan pandang memandang antara lelaki dan perempuan. Dilarang pandang memandang bila tidak perlu, tetapi tidak diperintahkan bertabir. Walaupun demikian, Bung Karno menegaskan bahwa beliau antipergaulan secara Barat.
Bagi Bung Karno, Islam is progress (Islam itu kemajuan). Progress berarti barang baru yang lebih tinggi tingkatannya dari barang terdahulu. Progress berarti produk baru, ciptaan baru, kreasi baru, bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengkopi barang yang lama. Zaman ini peri kemanusiaan mendapatkan system-sistem baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatannya daripada dahulu. Zaman sendiri menjelmakan system-sistem baru yang cocok dengan keperluannya, cocok dengan zaman itu sendiri. Kita harus camkan di dalam akal dan perasaan kita bahwa kini kita b ukan masyarakat onta, tapi masyarakat kapal udara.
Dalam artikel me”muda”kan pengertian Islam, Bung Karno menyebutkan, tarikh menunjukkan bukti bahwa selalu ada perubahan di dalam pengertian-pengertian tentang agama. Tarikh menunjukkan bahwa ada kalanya paham tua diganti oleh pemikiran yang lebih baru, bahwa pengertian yang salah dikoreksi oleh pengertian yang benar. Pokok tidak berubah, agama tidak berubah, Islam sejati tidak berubah, firman Allah dan sunah Nabi tidak berubah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal inilah yang berubah. Pengoreksian pengertian itu selalu ada dan mesti selalu ada. Pengoreksian itulah hakikatnya semua ijtihad, semua penyelidikan yang membawa kita ke lapang kemajuan. Janganlah kita menutup mata bahwa di luar Indonesia kini seluruh dunia Timur sedang asyik rethinking of Islam, yakni memikirkan kembali maksud-maksud Isl am yang sewajarnya.
Soekarno mengatakan, “Islam sontoloyo!”. Suatu perbuatan dosa yang dihalalkan menurut hukum fiqih. Seorang syekh yang menikahi muridnya dengan alasan fiqh menghalalkan. Seorang rentenir yang menghalalkan ribanya dengan pura-pura berjual beli suatu barang dengan orang yang mau meminjam uang darinya. Benar, ini sah, ini halal, tapi halalnya Islam sontoloyo! Halalnya orang yang mau main kekibu dengan Tuhan atau orang yang mau mengelabuhi mata Tuhan. Tidak justru Islam terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa atau kita tidak mau tahu bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan jiwa kita kepada Allah. Kita lupa bahwa fiqh itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi semua syariat-syariat ke-Tuhan-an yang sejati, yang juga berhajat kepada Tauhid, akhlaq, kebaktian rohani, kepada Allah, dll. Bung Karno bukan pembenci fiqh, beliau hanyalah pembenci orang atau peri kehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri pada fiqh itu saja. Padahal sudah jelas bahwa Rasul menganjurkan kita untuk hanya berpegang pada Alqur’an dan Hadist.
Isi buku ini dipaparkan secara lugas oleh Bung Karno dan membuat kita menggelengkan kepala, sulit sekali menemukan kelemahan dalam buku ini. Dari buku ini diharapkan generasi muda akan menjadi lebih paham bahwa Bung Karno bukan hanya seorang pemimpin bangsa, tetapi juga seorang cendikiawan besar yang mumpuni (serba cakap). Di sisi lain juga tidak bisa dihindari kesan kuat bahwa Bung Karno adalah seorang nasionalis-religius. Sisi lainnya yang tak kalah menarik adalah bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang Islam yang dimiliki Bung Karno tidak tumbuh dan tidak berkembang dari wacana akademik, melainkan merupakan bagian dari proses tumbuh kembangnya sebagai seorang pemimpin bangsa. Semua hasil pemikiran beliau merupakan hasil dari suatu proses intelektual yang dialogis, cerdas dan berbudaya.

Komentar

ibel_lonely mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
ibel_lonely mengatakan…
sekarang makin banyak orang yang berupaya membuat islam SEKULER


waspada.....
ibel_lonely mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Postingan Populer